Orang Sambas Pelit?
>> Friday, September 2, 2011
Saya kaget waktu dengar beberapa orang memberikan stereotipe pelit kepada orang Sambas. Padahal saya kenal beberapa orang Sambas dan tak satu pun yang mewakili stereotipe tersebut. Yang saya tahu orang Sambas itu ramah dan pemurah terutama kepada tamu. Kebetulan sekarang saya sedang menjalin hubungan dengan pria Sambas. Saat ke rumahnya, yang saya dapati adalah perhatian dan kehangatan dari segenap keluarga besar. Setiap pagi saya pasti dijamu dengan kroket hangat dan ditanya mau minum apa. Mamak, begitu ibu pacar saya disapa, kemudian sibuk di dapur mempersiapkan lauk-pauk untuk makan. Setelah itu, saya diajak makan.
“Tambahlah nasi’,” selalu mamak berujar seketika piring saya kosong.
Belum lagi jika ada penganan seperti kerupuk. Tidak pernah saya tidak dipersilahkan untuk makan. Tidak pernah pula mereka menahan-nahan makan cuma karena saya sedang menginap. Pokoknya, apa yang mereka makan, itulah yang saya makan.
Mengingatkan saya pada beberapa teman kampus yang asal wilayah Sambas. Satu teman saya, Hatifah. Dia mahasiswa nge-kos di dekat kampus. Dulu, waktu ada jam kosong, kadang saya mengungsi ke kosnya sampai mata kuliah berikutnya. Dia juga rajin berbagi terutama makanan meskipun kondisinya sendiri terbatas. Sering saya tahu dia cuma makan seadanya, terutama saat uang kiriman belum tiba. Tak jarang sarapan dan makan malam hanyalah mi instan yang dibagi dua. Itu pun jika ada teman lain di kos yang tidak makan, pasti akan dibagi.
Makanya, sekali lagi saya bilang, saya kaget mendengar ada stereotype bahwa orang Sambas itu pelit.
Itulah masalahnya dengan stereotipe. Seperti ramalan zodiak yang kadang kebetulan benar, ia terus dipakai untuk menyamaratakan karakteristik sebuah kelompok. Hal ini sudah berurat berakar dalam pemikiran masyarakat Indonesia. Meski terlihat sepele, ini adalah hal yang berbahaya di negara dengan keberagaman. Stereotype baik menimbulkan kekecewaan ketiap yang terjadi berlawanan. Stereotype buruk membuat orang enggan menjalin silaturahmi dengan suku tertentu karena sudah timbul prasangka atau prejudice.
Mungkin tidak semua orang begitu termakan dengan stereotipe. Terutama orang yang sudah berulangkali memiliki pengalaman bahwa tidak semua orang dalam satu suku itu sama walaupun dibesarkan dengan adat yang berbeda. Saya hanya bisa berharap bagi yang memiliki kejengahan pada stereotipe seperti saya bisa terus menularkannya kepada orang lain.
Read more...
“Tambahlah nasi’,” selalu mamak berujar seketika piring saya kosong.
Belum lagi jika ada penganan seperti kerupuk. Tidak pernah saya tidak dipersilahkan untuk makan. Tidak pernah pula mereka menahan-nahan makan cuma karena saya sedang menginap. Pokoknya, apa yang mereka makan, itulah yang saya makan.
Mengingatkan saya pada beberapa teman kampus yang asal wilayah Sambas. Satu teman saya, Hatifah. Dia mahasiswa nge-kos di dekat kampus. Dulu, waktu ada jam kosong, kadang saya mengungsi ke kosnya sampai mata kuliah berikutnya. Dia juga rajin berbagi terutama makanan meskipun kondisinya sendiri terbatas. Sering saya tahu dia cuma makan seadanya, terutama saat uang kiriman belum tiba. Tak jarang sarapan dan makan malam hanyalah mi instan yang dibagi dua. Itu pun jika ada teman lain di kos yang tidak makan, pasti akan dibagi.
Makanya, sekali lagi saya bilang, saya kaget mendengar ada stereotype bahwa orang Sambas itu pelit.
Itulah masalahnya dengan stereotipe. Seperti ramalan zodiak yang kadang kebetulan benar, ia terus dipakai untuk menyamaratakan karakteristik sebuah kelompok. Hal ini sudah berurat berakar dalam pemikiran masyarakat Indonesia. Meski terlihat sepele, ini adalah hal yang berbahaya di negara dengan keberagaman. Stereotype baik menimbulkan kekecewaan ketiap yang terjadi berlawanan. Stereotype buruk membuat orang enggan menjalin silaturahmi dengan suku tertentu karena sudah timbul prasangka atau prejudice.
Mungkin tidak semua orang begitu termakan dengan stereotipe. Terutama orang yang sudah berulangkali memiliki pengalaman bahwa tidak semua orang dalam satu suku itu sama walaupun dibesarkan dengan adat yang berbeda. Saya hanya bisa berharap bagi yang memiliki kejengahan pada stereotipe seperti saya bisa terus menularkannya kepada orang lain.