Indonesia Raya, Tidak Merdeka-Merdeka

>> Sunday, August 31, 2008










Agustus sudah habis.

Kemerdekaan sudah tandas. Bersamaan dengan redamnya beragam lomba di RT-RT. Bersama robohnya batang pinang yang telah dikeruk hadiahnya.

Indonesia pun demikian. Telah dikeruk hingga habis demi kepentingan pihak-pihak tertentu yang mengatasnamakan kemajuan.

Sawit mengusung niat kepedulian pada masyarakat sekitar dengan membangun sarana dan prasarana. Tapi membabat hutan, membiarkan eksesnya untuk ditanggung masyarakat nanti. Banjir, longsor. Puluhan tahun kelak, tanah sudah gersang dan tandus. Mesti megais-ngais sisa-sisa apa yang dijanjikan sebagai kesejahteraan. Bahkan mengemis ke negeri orang, negeri tetangga(negeri yang dituduh sebagai pencuri, tapi ternyata dicuri balik slogannya).

Hukum adat yang jujur dan tegas tapi menghalangi jalan kaum kaya, dicerabut dan tidak diakui keabsahannya. Akhirnya adalah cerita yang sama. Penjahat perut buncit akan memikul karung profit, meninggalkan jejak kesengsaraan lainnya. Tinggal menitipkan beberapa amplop agak tebal atau transfer lewat bank, jalan akan mulus. Belum lagi cerita tambang emas, minyak bumi, dan hutan. Terlalu banyak kata dan tenaga yang terbuang percuma rasanya.

Itulah Indonesia dan filosofi kemerdekaannya. Filosofi yang terlalu sempit. Bagi Indonesia, kemerdekaan segelintir orang adalah kemerdekaan bagi seluruh rakyat. Padahal tidak.

Kenyataannya rakyat memang sengaja dibuat bodoh. Agar tak banyak omong. Agar ikut dan manut. Sehingga hanya bisa diam atau bahkan tak sadar:"bahwa sesungguhnya kita hanya berpindah tangan dari satu penjajah lainnya. Yang dengan pelan-pelan, senyap-senyap, mencari celah meletakkan tanga-tangan kuasanya di atas Indonesia.”

Kemarin kekuasaan bernama Nasionalisme bertopeng Majapahit menjadi Indopahit (filosofi Andreas dan Sapariah—Pantau). Hari ini dicengkeram lengan industri dan kapitalis.

Jadi sebenarnya apa yang kita rayakan?

Gelar kita: negara miskin yang terlalu banyak berhura-hura. Mengandalkan nama nasionalisme dan sejarah yang dibuat-buat agung.

Seperti ujaran A. Alexander Mering dalam hampir setiap pembicaraannya mengenai Indonesia dan Kemerdekaan,”Negeri tanpa Nabi yang begitu bangga menyebut dirinya Indonesia”.

Foto Bendera (r124lblog.blogspot.com)
Foto Anak (albertjoko.files.wordpress.com)

Read more...

MEMBACA SENO


Menyenangi Seno dalam kasusku tidaklah seperti orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku sempat membenci karyanya. Satu tulisan yang kubaca sekitar tahun 2006 lalu terasa asing. Aku bahkan tak ingat judulnya. Yang membekas hanyalah kalimatnya panjang-panjang dan susah dimengerti. Berputar-putar. Berbelit-belit. Membingungkan. Melelahkan. Betapa.

Sampai suatu ketika aku bertemu dengan seseorang yang menolak disebut guru. Meski aku telah belajar banyak hal darinya lewat sharing yang tentu menyita waktu. Padahal ia orang sibuk. Nah, dialah yang piawai memperkenalkan aku pada Seno. Dia mulai mengoceh tentang sepotong senja. Kurasa karena dia tahu aku mengagumi pemandangan yang satu ini. (Kami pernah mengejar senja yang akan jatuh ke garis cakrawala beberapa waktu lalu).

Dia dan Seno juga. Sama-sama kasmaran pada senja. Dia memulai kisahnya dengan pembukaan yang sangat menggelitik. Dia bilang,”Seno cerita, ada seseorang yang nekat mengerat senja untuk dikirim ke pacarnya”. Gila, batinku. Mana bisa senja dikerat apalagi dikirim? Aku menunggu kelanjutan cerita itu. Tapi ia berhenti. Esoknya, ia membawakan aku sebuah buku karangan Seno.

Yah, buku sudah di tangan. Mau tak mau harus dibaca. Buku itu lumayan tebal. Tapi covernya tidak begitu menarik. Gambar dan warnanya tidak indah, tidak lembut, tidak catchy. Tidak juga menggambarkan gaya penulisan Seno yang cenderung abstrak.

Namun aku mulai juga menggeluti halaman per halaman. Membaca narasi tentang senja yang berputar-putar entah kemana. Aku seolah menjejalkan obat tanpa minum. Mulutku—maksudku otakku—penuh. Lalu aku ingat ujaran seseorang yang menolak disebut guru dan penyair tadi,”Kalimat-kalimat Seno itu berenergi. Apalagi kekuatan deskripsinya yang seolah dapat menghadirkan senja di hadapan pembaca”.

Entah aku terdoktrin ujaran tadi atau ini pendapatku sendiri, tapi aku menemukan jalinan energi itu. Kalimat-kalimat yang memberikan kesan mendalam namun tegas mulai terasa. Tak peduli panjang, namun tetap tak kehilangan makna.

Perjalananku dimulai. Aku seolah menyeberang ke sisi lain cermin. Aku mengunjungi sebuah kota di mana pelangi tak pernah pudar. Di sana aku bersua dengan Sukab dan peternakan kunang-kunang Mandarinnya, mendengar cerita tentang ikan paus merah, dan anak-anak senja. Juga dunia hitam putih (yang pernah ingin kutulis juga). Aku mulai rindu pada “senja merah membara yang membakar langit gemawan”. Begitulah bahasa Seno menjabarkan senja. Seno memang tidak sama dengan pencinta senja lainnya. Ia seolah orang yang menghabiskan waktu menekuri senja. Di pantai, dekat laut terutama. Karenanya ia mampu menyisipkan detail-detail yang terlupakan tentang senja.

Mungkin juga aku terkesan dengan cerita-cerita itu karena merasa menemukan apa yang kucari selama ini. Aku terlalu lelah terkekang batas-batas logika yang menjadi Tuhan bagi banyak orang. Membaca Seno yang menulis begitu bebas, ikatan yang menggigit sel-sel otakku untuk berpikir dan menulis di batas awam, terlepas. Aku mulai belajar, sesuatu yang asing bisa jadi sangat menarik ketika kita memberi ruang untuk mengenal.

Kekuatan lain Seno terletak pada cara berceritanya. Ia mampu meracuni pikiran pembaca bahwa yang tengah diceritakannya benar-benar ada. Di suatu tempat yang bisa terjangkau, bisa juga tidak. Ia mampu menghadirkan Sukab dan senja yang sempurna dan beragam. (Kalimat itu bisa berarti Sukab yang sempurna dan beragam atau senja yang sempurna dan beragam. Karena memang demikian keadaannya). Belum lagi bicara tentang ending. Membaca setiap cerita ibarat naik bis tanpa tahu tujuan. Kita tak pernah tahu akan dibawa kemana oleh pengemudi satu ini. Setiap akhir tak terduga dan tak terbatas. Bukannya selesai, yang ada hanyalah pertanyaan-pertanyaan baru. Misalnya, Sebenarnya apa dan siapa anak-anak senja dan peselancar agung?

Belum khatam membaca buku terbitan Gramedia tahun 2002 ini, kalimat-kalimat tentangnya sudah menyembur bak peluru dari cannon kompeni. Malah tak ada yang tepat untuk mengakhirinya. “Kecuali mungkin menyelam kembali ke dalam amplop, mengembara bertahun-tahun bersama tukang pos untuk mengantarkan senja yang jingga kepada Alina*”.

*Nukilan beberapa kisah dalam novel “Sepotong Senja untuk Pacarku”.

(Tulisan ini dipublikasikan di Harian Borneo Tribune Pontianak, edisi 31 Agustus 2008)

Read more...

Resensi Buku : Revolusi Sekolah

>> Monday, August 25, 2008

Pengarang : Fahd Djibran
Ukuran Buku : 17 cm, 276 halaman.
Jenis Buku : Non fiksi
Penerbit : DAR! Mizan Remaja
Peresensi : Yauma Yulida Hasanah

Apa itu sekolah? Di Indonesia, sekolah identik dengan pendidikan dan kesuksesan. Padahal fakta menunjukkan banyak juga orang sukses yang bahkan tidak menyelesaikan studinya. Misalnya Bill Gates, Bapak Microsoft, yang terdata sebagai orang terkaya di dunia. Ironisnya, dia bahkan tidak menyelesaikan studinya di Universitas Oxford, Inggris. Kenal Willy Sidharta? Beliau adalah seorang Presiden Direktur di PT Aqua Missisipi bahkan tanpa titel sarjana. Jadi pertanyaannya, untuk apa sekolah?

Begitulah sedikit bagian awal dari buku berjudul Revolusi Sekolah. Tema utama buku ini adalah pembahasan mengenai pendidikan di sekolah, tempat yang disebutkan oleh penulis sebagai suatu instansi yang bermasalah. Problematika yang dikemukakan antara lain pembodohan dalam sistem pendidikan, kebobrokan sistem pendidikan, dan kegagalan sekolah menciptakan generasi bangsa sesuai yang dicita-citakan dalam tujuan nasional pendidikan.

Hingga saat ini, para siswa bahkan kurang menyenangi sekolah yang selama ini dikatakan untuk mereka. Sekolah hanyalah menjadi suatu rutinitas dan kewajiban semata. Ini bertentangan dengan asal bahasanya yaitu Scholae, dari bahasa Yunani yang berarti waktu luang. Karena pada sejarahnya, kegiatan persekolahan adalah proses yang dilakukan dengan sukarela di waktu senggang. Hasilnya? Para pelajar saat itu mampu menyerap pelajaran dengan baik. Sekolah berubah menjadi ”penjara” saat Revolusi Industri di Inggris. Menurut penulis, hal ini terjadi karena sekolah adalah tempat mencetak tenaga kerja siap pakai bagi kaum kapitalisme.

Oleh karena itu, penulis menekankan pentingnya revolusi sekolah saat ini juga. Revolusi dapat dibagi menjadi dua, revolusi dari pribadi siswa (revolusi mental) dan revolusi dari implementasi pendidikan di sekolah. Revolusi mental dapat dimulai dengan pemaknaan ulang tentang sekolah dan bersekolah oleh siswa sehingga dapat membangkitkan kesadaran total untuk sekolah. Dengan demikian, permasalahan yang santer selama ini tentang tawuran, bullying (gencet-gencetan), seks bebas dan narkoba dapat terhindarkan.

Perkembangan siswa pun tak lepas dari peran sekolah. Setiap tindak kekerasan bisa jadi adalah akibat kekerasan yang terjadi di sekolah, baik secara fisik maupun non-fisik. Sistem pengajaran di sekolah juga merupakan bentuk pembodohan karena sisem pegajaran yang terjadi adalah pembelajaran satu arah. Dalam kondisi ini, siswa diibaratkan celengan kosong yang siap diisi oleh pandangan-pandangan guru, tanpa melatih pemikiran siswa itu sendiri. Di bagian akhir buku, dipaparkan cara merealisasikan revolusi sekolah bagi kedua belah pihak.

Penulisan buku ini ternyata merupakan realisasi dari kerinduannya untuk perbaikan sistem pendidikan di Indonesia. Selain itu, buku ini menuangkan beberapa pengalaman pribadi penulis memberontak sistem pendidikan di sekolahnya. Fahd semasa sekolah ternyata sering mengalami masalah dengan sekolah bahkan ketika ia menuntut ilmu di pesantern. Meskipun demikian, dia tercatat sebagai siswa yang cerdas dan selamat dari ancaman dikeluarkan karena nilai rapornya selalu tertinggi. Buku ini adalah buku ketiganya setelah sebelumnya menulis ”Kucing” (Magnum Opus, 2004) dan ”Being Superstar” (DAR! Mizan, 2005).

Segmentasi pembaca untuk buku ini berkisar antara pelajar SMP dan SMA karena dibutuhkan penalaran sedikit lebih jauh dalam membaca argumentasi penulis yang sedikit radikal. Dari segi isi, buku ini dapat dikatakan cukup baik karena dapat membuka wawasan pembacanya. Tidak hanya memaparkan wacana, penulis juga mampu menawarkan solusi yang berkenaan dengan Revolusi Sekolah. Bahasa yang digunakan cukup mudah dimengerti dan disusun dengan bahasa ilmiah populer.

Namun buku ini juga memiliki kekurangan dari segi penulisan. Opini yang disampaikan penulisan agak kurang padu. Akibatnya, terjadi banyak perulangan ide seperti perulangan ide kekerasan yang terpisah di dua bab yang berbeda. Padahal, akan lebih baik ide tersebut disampaikan secara utuh agar contoh yang disampaikan tidak melulu sama dan mengakibatkan kebosanan pada pembaca. Beberapa contoh yang ditampilkan pun ada yang kurang relevan ataupun kurang memenuhi kualifikasi karena diambil dari cerita fiksi yang notabene tidak jelas batas kebenarannya. Motivasi yang diberikan penulis kurang terasa karena faktor-faktor di atas. Akhirnya, meski tulisan ini berisi fakta yang radikal, sayangnya masih kurang ”mengigit” karena kurangnya observasi dari penulis.

Read more...

Warta Hari Ini

Hari ini hanya perlu beli satu Koran
Sebab headline-nya sama
Tentang seorang pria
Bukan artis, bukan pejabat, bukan koruptor
Hanya seorang tua
Usianya kira-kira 70
Keriput, dari dahi hingga leher
Kulitnya kendor bergelantungan
Mata dan jakun menonjol
Tambahan lagi, ceking
Tulang tangan dan kakinya timbul
Kulitnya yang hitam legam ogah-ogahan membungkus badan renta itu
Bukan paman Gober, bukan caleg, bukan pelaku sodomi
Ia hanya
(Kalau boleh dibilang hanya)
Seorang pria yang merajam dengan kata-kata

Pontianak, 24 Agustus 2008


Read more...

Hikayat Seorang Bisu

>> Monday, August 18, 2008

Ada seorang bisu,
Konon 10 tahun lalu
Ia memotong lidah
dan menjahit bibirnya sendiri

Setiap hari
Ia cuma memanjat pohon mangga,
mengendap-endap di parit belakang rumah,
pekarangan tetangga,
masuk ke kolong,
mengaduk tong sampah,
dan mengais-ngais tanah gambut
di dekat beranda

Kala petang
Ia selalu memanggul karung besar
Entah apa isinya

Para tetangga
Terutama nyonya-nyonya mulai resah
Mengira si bisu mencuri harta mereka
Lalu mereka delegasikan sang suami
Melongok ke dalam karung

"Apa isinya?" desak istri-istri itu saat mereka pulang
Suami yang malang itu tak menjawab
Hanya wajah mereka putih pucat
Tapi demi menghindar dari tatapan membunuh sang istri
Akhirnya menjawab juga
(dengan tampang hampir muntah)
"Kata-kata busuk punya dia!"

Read more...

180808 (01)


Aku akan tidur awal malam ini
Bukan karena lelah membebat tubuh
Atau kantuk memberati mata
Tapi menghindar dari tertusuk rindu
Sebab keinginan bertemu menyelinap teramat dalam
Hingga menggenapkan niat
Untuk menghilang dan mengadu nasib
Di alam mimpi

Kota Hantu

Read more...

Kasih, Aku Luka

>> Sunday, August 17, 2008

Aku masih tekun
Mengulang bait-bait cerita
Tentang kerinduanmu pada hujan, pada senja, pada wanita yang tercinta

Aku keluar dari bingkai kita
Membiarkan keindahan di tiap nyawa kalimatmu bersuara
Mengaguminya sebagai seorang perempuan
Sebagai seorang kawan

Tapi belati apa ini
Yang menusukku perlahan saat terbuai
Menyayatkan luka melingkar
Dalam dan merah dan berdarah dan nyeri dan linu dan perih dan lelah
Dan berairmata

Pontianak, saat mencintaimu


Read more...

Sore, Sajak

Tadi sore aku duduk di salah satu tempat makan favoritku bersama seorang penulis bernama Bang Wisnu. Suasana agak tenang dibarengi sejuk yang dibawa oleh hujan. Kami berbincang seolah teman lama. Selain itu, kami juga mengupas sajak-sajaknya yang tak usang meski ditulis hampir 10 sepuluh tahun lalu.

Aku tak melepaskan pandangan dari pria ini. Wajahnya yang jenaka membuat rasa segan yang kurasakan pada awal pertemuan menghilang. Dia tanpa ragu membuka satu demi satu topik menarik. Rasanya tak pernah kehilangan bahan yang menyenangkan untuk dibahas bila bersama penikmat sastra yang satu ini.

Perawakannya yang sedang-sedang saja dalam tinggi dan berat badan menjadi istimewa karena penampilannya. Bukan karena ia mengenakan jas atau kemeja. Tapi karena ia menggunakan celana pendek. Begitu santai dan sederhana. Padahal dia adalah salah satu penulis sastra yang cuku terkenal di Kalbar juga di negeri jiran Malaysia. Sungguh unik.

Baru beberapa menit duduk, dia segera membuka laptopnya. Tanpa ragu dia membacakan beberapa sajak sembari bercanda. Dia juga menunjukkan padaku sajak favoritnya. Tak lupa menjawab beberapa pertanyaan yang aku lontarkan.

Membaca dan berbincang mengenai karya Bang Wisnu membuat aku lapar batin. Ingin cepat pulang dan menulis puisi. Alhasil lahirlah puisiku berjudul “Menemanimu” yang memanglah tak sehebat tulisan puitik karya pria yang tak mau makan daging itu. Jauh sekali malah. Tapi mengingat ujaran Bang Wisnu,”Tulis saja semuanya, jangan sampai ada karya yang hilang”, segera aku tuangkan ideku yang masih mentah.

Semoga aku bisa belajar lagi di lain waktu pada pria satu ini, mengingat jadwalnya yang selalu padat. Mengikuti jejaknya menggaungkan kalimat Pram,"Menulis adalah bekerja untuk keabadian".

Read more...

Menemanimu

Ada melodi sunyi yang mengalun
Serentak dengan luruhnya hujan sore ini

Di depanku
Kau duduk menatap cakrawala
Mendung bisu
Sembari menarasikan hidup yang begitu getir
Meluapkannya lewat memori jutaan sajak tahun-tahun lalu

Aku hanya boleh menatap sudut matamu
Karena saat ini
Aku hanyalah ruh yang menyertai pelarian panjangmu
Dan yah…sajakmu membangunkan ribuan rasa
Di raga matiku
Meski sekejap, aku hidup

Aku tak akan menyela

Hanya saja,
Memelukmu saat kau beranjak
Gumpalan emosi itu luruh

Kekasihku,
Jangan mencela


Pontianak, 17 Agustus 2008

Read more...

About This Blog

  © Blogger template Simple n' Sweet by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP