Sore, Sajak
>> Sunday, August 17, 2008
Tadi sore aku duduk di salah satu tempat makan favoritku bersama seorang penulis bernama Bang Wisnu. Suasana agak tenang dibarengi sejuk yang dibawa oleh hujan. Kami berbincang seolah teman lama. Selain itu, kami juga mengupas sajak-sajaknya yang tak usang meski ditulis hampir 10 sepuluh tahun lalu.
Aku tak melepaskan pandangan dari pria ini. Wajahnya yang jenaka membuat rasa segan yang kurasakan pada awal pertemuan menghilang. Dia tanpa ragu membuka satu demi satu topik menarik. Rasanya tak pernah kehilangan bahan yang menyenangkan untuk dibahas bila bersama penikmat sastra yang satu ini.
Perawakannya yang sedang-sedang saja dalam tinggi dan berat badan menjadi istimewa karena penampilannya. Bukan karena ia mengenakan jas atau kemeja. Tapi karena ia menggunakan celana pendek. Begitu santai dan sederhana. Padahal dia adalah salah satu penulis sastra yang cuku terkenal di Kalbar juga di negeri jiran Malaysia. Sungguh unik.
Baru beberapa menit duduk, dia segera membuka laptopnya. Tanpa ragu dia membacakan beberapa sajak sembari bercanda. Dia juga menunjukkan padaku sajak favoritnya. Tak lupa menjawab beberapa pertanyaan yang aku lontarkan.
Membaca dan berbincang mengenai karya Bang Wisnu membuat aku lapar batin. Ingin cepat pulang dan menulis puisi. Alhasil lahirlah puisiku berjudul “Menemanimu” yang memanglah tak sehebat tulisan puitik karya pria yang tak mau makan daging itu. Jauh sekali malah. Tapi mengingat ujaran Bang Wisnu,”Tulis saja semuanya, jangan sampai ada karya yang hilang”, segera aku tuangkan ideku yang masih mentah.
Semoga aku bisa belajar lagi di lain waktu pada pria satu ini, mengingat jadwalnya yang selalu padat. Mengikuti jejaknya menggaungkan kalimat Pram,"Menulis adalah bekerja untuk keabadian".
Aku tak melepaskan pandangan dari pria ini. Wajahnya yang jenaka membuat rasa segan yang kurasakan pada awal pertemuan menghilang. Dia tanpa ragu membuka satu demi satu topik menarik. Rasanya tak pernah kehilangan bahan yang menyenangkan untuk dibahas bila bersama penikmat sastra yang satu ini.
Perawakannya yang sedang-sedang saja dalam tinggi dan berat badan menjadi istimewa karena penampilannya. Bukan karena ia mengenakan jas atau kemeja. Tapi karena ia menggunakan celana pendek. Begitu santai dan sederhana. Padahal dia adalah salah satu penulis sastra yang cuku terkenal di Kalbar juga di negeri jiran Malaysia. Sungguh unik.
Baru beberapa menit duduk, dia segera membuka laptopnya. Tanpa ragu dia membacakan beberapa sajak sembari bercanda. Dia juga menunjukkan padaku sajak favoritnya. Tak lupa menjawab beberapa pertanyaan yang aku lontarkan.
Membaca dan berbincang mengenai karya Bang Wisnu membuat aku lapar batin. Ingin cepat pulang dan menulis puisi. Alhasil lahirlah puisiku berjudul “Menemanimu” yang memanglah tak sehebat tulisan puitik karya pria yang tak mau makan daging itu. Jauh sekali malah. Tapi mengingat ujaran Bang Wisnu,”Tulis saja semuanya, jangan sampai ada karya yang hilang”, segera aku tuangkan ideku yang masih mentah.
Semoga aku bisa belajar lagi di lain waktu pada pria satu ini, mengingat jadwalnya yang selalu padat. Mengikuti jejaknya menggaungkan kalimat Pram,"Menulis adalah bekerja untuk keabadian".
0 comments:
Post a Comment