"Taktektaktek" Di Dunia Kita
>> Friday, July 10, 2009
Meski sempat "down" saat cerpen "Taktektaktek" ditolak Kompas beberapa bulan lalu, saya mengirimkan lagi cerpen itu. Kali ini Suara Pembaruan. Suara Pembaruan menurut Ahmadun Yosi Herfanda adalah media yang suka cerpen-cerpen konvensional. Mungkin di media ini, cerpen saya bisa dianggap layak.
"Taktektaktek" adalah sebuah cerita yang settingnya tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Ini kisah seorang perempuan yang tengah diinterogasi polisi sesaat setelah hari raya. Semua bermula dari sebuah komplek yang baru dibangun.
Seorang perempuan yang entah muncul dari mana menghampiri tukang ojek. Saat itu hampir tengah malam. Walau begitu, tukang ojek tetap mengantarnya ke tempat yang dituju, mungkin dianggap rejeki hari raya. Di tengah jalan, perempuan itu minta singgah ke toko parsel yang tengah mengejar deadline. Ia tak membawa bungkusan yang bagus. Hanya keranjang terbungkus kain batik cokelat dengan wangi melati dan kapur barus.
Setelahnya, mereka berkendara lagi hingga tempat yang telah disepakati sejak awal. Kemudian tukang ojek pulang dengan tenang--sampai selang beberapa hari ia dipanggil ke kantor polisi.
Malam yang sama. Beberapa jam setelah tukang ojek pulang, di sebuah rumah lain, tukang parsel mengantar pesanan terakhir. Tapi pesanan itu yang akan jadi suvenir hingga tua nanti. Karena setelahnya, ia terpaksa melanggar pesan sang istri: “Kuingatkan, Mas. Jangan sekali-kali berurusan dengan 3 hal: polisi, uang, dan perempuan. Terutama polisi”.
Semua gara-gara parsel. Semua gara-gara Yana.
Read more...
"Taktektaktek" adalah sebuah cerita yang settingnya tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Ini kisah seorang perempuan yang tengah diinterogasi polisi sesaat setelah hari raya. Semua bermula dari sebuah komplek yang baru dibangun.
Seorang perempuan yang entah muncul dari mana menghampiri tukang ojek. Saat itu hampir tengah malam. Walau begitu, tukang ojek tetap mengantarnya ke tempat yang dituju, mungkin dianggap rejeki hari raya. Di tengah jalan, perempuan itu minta singgah ke toko parsel yang tengah mengejar deadline. Ia tak membawa bungkusan yang bagus. Hanya keranjang terbungkus kain batik cokelat dengan wangi melati dan kapur barus.
Setelahnya, mereka berkendara lagi hingga tempat yang telah disepakati sejak awal. Kemudian tukang ojek pulang dengan tenang--sampai selang beberapa hari ia dipanggil ke kantor polisi.
Malam yang sama. Beberapa jam setelah tukang ojek pulang, di sebuah rumah lain, tukang parsel mengantar pesanan terakhir. Tapi pesanan itu yang akan jadi suvenir hingga tua nanti. Karena setelahnya, ia terpaksa melanggar pesan sang istri: “Kuingatkan, Mas. Jangan sekali-kali berurusan dengan 3 hal: polisi, uang, dan perempuan. Terutama polisi”.
Semua gara-gara parsel. Semua gara-gara Yana.