Putu Wijaya: Filosofi Orang Tua
>> Thursday, August 27, 2009
Merdeka tinggal di sebuah RT bersama istrinya, Lastri, kedua anak, dan ibunya yang sudah lanjut usia. Keluarga ini jadi geger semenjak ibu Merdeka nyeletuk minta film triple X. Belum lagi sang ibu menbeberkan keinginannya pada para tetangga. Merdeka kebakaran jenggot.
Merdeka curiga. Keinginan tiba-tiba ini tentu ada yang mengapi-api. Sebab belum pernah ibunya macam-macam begini. Prasangka itu jatuh kepada para tetangga. Ia berpikir mereka tentu iri melihat keberhasilannya. Nampaknya, Merdeka tinggal di wilayah yang orang-orangnya kurang bekerja keras. Yah, bisa dibilang kadang kurang kerjaan. Itu sebabnya mereka bisa saja menghasut ibu Merdeka untuk menonton film XXX itu.
Berbagai taktik dan negosiasi Merdeka lancarkan kepada perempuan gaek itu. Niat beliau bergeming malah mengancam minggat ke kampung kalau keinginannya tidak dikabulkan. Akhirnya dengan menahan malu, ia pergi ke penyewaan kaset. Dicomotnya Night of The Virgin. Lalu ia pulang dan mengartikan judulnya kepada ibu yang masih cemberut. Esoknya ibu Merdeka minta pulang lagi.
“Lihat sendiri. Itu kan satu X. Ya nggak? Aku kan minta tiga. Tiga X. XXX begitu… .”
Merdeka kelimpungan. Lastri mati-matian menahan tawa.
Merdeka pun menyusup ke pasar. Dicarinya betul film dengan tanda tiga X. Ia pulang.
Waktu yang ditunggu tiba. Anak-anak sudah tidur. Hampir tengah malam. Merdeka mengecek TV dan video, mengatur agar suara tak terlalu keras. Mereka sebelumnya bahkan minta ibu menonton tanpa suara. Takut tetangga heboh. Ibu nyaris merajuk. Mereka mengalah.
“Aku ingin nonton sendiri,” katanya ketus.
Merdeka dan istri nyaris tak percaya. Tapi mereka masuk kamar juga, tak lupa berpesan tentang yang itu-itu lagi. Rupanya penasaran mereka belum habis. Mereka mencoba berbagai posisi untuk mencuri dan mengintip reaksi ibu. Lastri menyenggol perabotan sehingga berkompyangan. Merdeka ketahuan membuka pintu sedikit. Geram ibu tersulut.
Ia berteriak: “Aku ingin nonton sendirian!”
Nyatanya, film tiga X baru awal kegelisahan Merdeka. Besoknya ibu masih merengut. Permohonannya makin gila.
Mulai dari senam disko sampai kawin lagi.
Putu Wijaya dalam kisah ini, seperti biasa menghadirkan teror dengan kejutan, teknik mencicil informasi, dan kelabilan emosi dalam tiap kalimat. Namun semua diramu matang, cerdik, dan jenaka.
Ia menyorot betapa saat ini lansia selalu tersingkir dari kehidupan. Ketika umur semakin bertambah, mereka semakin ditinggalkan. Dalam suatu keluarga, lansia cuma jadi tanggung jawab. Mereka dianggap cerewet saat berpendapat, dianggap macam-macam jika ada permintaan. Padahal mereka juga manusia yang perlu mendapatkan bagian dan kewajaran.
Putu seperti biasa berfilosofi dengan nilai dalam masyarakat dan mengaduk-aduk perasaan pembaca. Pembaca bisa berdebat dengan nilai-nilai masyarakat. Tidak harus melulu manut karena itu sudah budaya Timur. Bukan tak mungkin, menimbulkan pemahaman akan segala sesuatu yang dianggap tabu atau mungkin kolot di dalam falsafah ketimuran Indonesia.
Tak ketinggalan, persoalan arti pernikahan dalam kehidupan dan kecintaan pada orang tua tergambar dalam kisah ini.
Cas Cis Cus dibukukan bersama tiga novelet lain, Tulalit, Kakilima, dan Ratu dalam buku berjudul Tulalit terbitan Kompas.
Read more...