Macet di A. Yani : Pemuda Dayak?
>> Thursday, March 15, 2012
Langit senja menyepuh awan hingga menjadi keemasan. Sudah pukul 5 lewat 40 menit. Jalan A. Yani macet. Motor, mobil, pick-up, bis, dan truk nyaris tak bergerak. Kemacetan dimulai dari depan hotel Mercure. Beberapa pengendara motor memilih belok ke Jalan Perdana, samping Mega Mall, untuk menghindari kemacetan di depan. Banyak juga yang tetap lurus termasuk saya. Dengan perlahan-lahan menaikkan gas motor dan hati berdegup, saya terus maju. Bertanya-tanya apakah tidak salah memilih rute ini. Beberapa anak usia tanggung sampai berdiri dengan tangan masih memegang stang. Setengah ingin tahu, setengah waspada.
Makin dekat museum, macet makin parah. Kami hampir tak bergerak. Masih belum nampak apa penyebab kemacetan yang ada. Saya hanya melihat seorang pemuda mencopot banner Yamaha dan berjalan. Meski tegang, ada kilatan semangat di antara geraknya. Ternyata ia melintangkan banner yang di terikat pada kayu itu di jalan masuk menuju Jl. Sutoyo. Di sini jalan sudah macet total. Palingan hanya bisa mencuri satu dua meter kedepan, menyelip antara ruang-ruang yang renggang.
Suasana mulai tegang. Berduyun-duyun pemuda muncul. Ada yang berambut panjang dan bermuka sangar. Ada yang merengsek maju ke depan barisan. Mereka berjalan berdua-dua atau bertiga-tiga. Membentuk sebuah barisan panjang. Sebagian besar dari mereka memakai atribut merah. Kain merah yang diikat ke kepala atau lengan. Seorang pemuda menyandang mandau dalam sarungnya. Pemuda yang lain hanya membawa sarung tanpa mandau. Yang lain mengacung-acungkan kayu ke udara. Seorang pria tak berbaju berbadan legam berteriak,”Dayak, dayak.”
Rupanya barisan ini yang menyebabkan kendaraan tak bergerak. Bersumber dari jalan Veteran, mereka mengarah ke jalan Sutoyo. Kemungkinan menuju Rumah Betang, rumah adat Dayak, yang berada di jalan itu. Polisi nampak siaga mengatur lalu lintas dan mengarahkan para pemuda ini.
Suasana di jalan A. Yani walaupun cukup menegangkan tidak segawat cerita orang-orang. Setidaknya tidak seekstrim yang saya bayangkan. Tidak ada pertumpahan darah atau bayangan buruk yang mengikuti sebuah kerusuhan. Saat langit makin mendung dan matahari kian turun, saya sudah melaju pulang. Dari pengeras suara masjid mulai terdengar suara orang mengaji.
Saya menarik napas lega. Lagi-lagi baru tersadar betapa indahnya kedamaian yang tak pernah saya syukuri sampai sore tadi.
Makin dekat museum, macet makin parah. Kami hampir tak bergerak. Masih belum nampak apa penyebab kemacetan yang ada. Saya hanya melihat seorang pemuda mencopot banner Yamaha dan berjalan. Meski tegang, ada kilatan semangat di antara geraknya. Ternyata ia melintangkan banner yang di terikat pada kayu itu di jalan masuk menuju Jl. Sutoyo. Di sini jalan sudah macet total. Palingan hanya bisa mencuri satu dua meter kedepan, menyelip antara ruang-ruang yang renggang.
Suasana mulai tegang. Berduyun-duyun pemuda muncul. Ada yang berambut panjang dan bermuka sangar. Ada yang merengsek maju ke depan barisan. Mereka berjalan berdua-dua atau bertiga-tiga. Membentuk sebuah barisan panjang. Sebagian besar dari mereka memakai atribut merah. Kain merah yang diikat ke kepala atau lengan. Seorang pemuda menyandang mandau dalam sarungnya. Pemuda yang lain hanya membawa sarung tanpa mandau. Yang lain mengacung-acungkan kayu ke udara. Seorang pria tak berbaju berbadan legam berteriak,”Dayak, dayak.”
Rupanya barisan ini yang menyebabkan kendaraan tak bergerak. Bersumber dari jalan Veteran, mereka mengarah ke jalan Sutoyo. Kemungkinan menuju Rumah Betang, rumah adat Dayak, yang berada di jalan itu. Polisi nampak siaga mengatur lalu lintas dan mengarahkan para pemuda ini.
Suasana di jalan A. Yani walaupun cukup menegangkan tidak segawat cerita orang-orang. Setidaknya tidak seekstrim yang saya bayangkan. Tidak ada pertumpahan darah atau bayangan buruk yang mengikuti sebuah kerusuhan. Saat langit makin mendung dan matahari kian turun, saya sudah melaju pulang. Dari pengeras suara masjid mulai terdengar suara orang mengaji.
Saya menarik napas lega. Lagi-lagi baru tersadar betapa indahnya kedamaian yang tak pernah saya syukuri sampai sore tadi.
0 comments:
Post a Comment