Tidak berarti Tidak

>> Friday, May 23, 2014

Ada suatu kegelisahan dalam hati saya beberapa minggu ini. Sebuah perasaan mencekam yang bahkan membuat susah tidur. Hanya satu kalimat yang terulang-ulang dalam hati.

Saya tidak mau Prabowo jadi Presiden.


Bukan kepala, tapi hati. Ini artinya saya tidak punya alasan yang jelas mengapa menolak Prabowo. Tapi lidah saya pahit kalau melihat berita-berita Prabowo di beranda Facebook. Semakin perasaan saya getir, nampaknya makin sering wajahnya muncul di timeline. Saya menghindar menonton TV One karena takut media milik ARB yang sekarang berkoalisi dengan Prabowo menjadi media yang tendensius. 

Semakin saya menonton berbagai pembelaan tim sukses Prabowo terhadap jagoannya ini, semakin saya bingung. Karena saya sadar saya tak punya alasan kuat dan jelas menolak calon ini. Sementara saya tak biasa dengan subjektivitas. 

Bukan di pemilihan 2014 ini saja keengganan akan Prabowo muncul. Sejak pilpres 2009, ketika Megawati menggaet Prabowo sebagai cawapres, saya juga memiliki ketakutan yang sama. Yang saya tahu, dia pernah terlibat kasus penculikan mahasiswa pada 1998. Periode kejatuhan Soeharto, kaisarnya Orde Baru. 

Meski saya masih kecil di masa ini, saya ingat kuatnya cengkeraman politik Soeharto dan kroninya. Betapa sebuah kekuasaan melahirkan kungkungan. Saat kuliah, saya banyak membaca betapa sulitnya tumbuh menjadi orang bebas di era Orde Baru. Dan reformasi 1998 yang menjadi sebuah ledakan besar yang memberi ruang untuk bernapas. Dibanding di Malaysia, kebebasan informasi di sana membuat saya banyak bersyukur menjadi orang Indonesia. 

Tapi masalah penculikan ini sudah dibantah oleh Prabowo melalui tangan kanannya, Fadli Zon. Dengan berbagai alibi dan tantangan yang masuk akal di kepala saya. Tapi seperti yang saya bilang, yang menolak Prabowo adalah hati, bukan kepala. Tak ada alasan rasional. 

Sampai saya membuka Ayovote yang menulis Plus Minus kedua kandidat capres-cawapres. Di sana ada satu kalimat yang menyatakan Jokowi, tidak memiliki jejak di Orde Baru. Sesuai dengan rumus 40-60 Pak B.J. Habibie. Rumus 40-60 ini maksudnya pemimpin yang pas untuk Indonesia adalah di rentang usia 40 sampai 60 tahun. Di bawah 40 terlalu hijau dan di atas 60 masih punya keterikatan sangat kuat dengan zaman Orde Baru.

Ini, rupanya ini yang menjadi alasan betapa saya kuat menolak Prabowo. Saya orangnya tak mudah percaya. Ketika saya sudah tak percaya, insting saya menasehati untuk menghindari kemungkinan membuat kesalahan yang sama.


Saya tak punya bukti Prabowo akan menghadirkan Orde Baru lagi di Indonesia. Tapi saya tidak mau ambil resiko. Seperti ketika saya sedang PDKT atau pendekatan dengan seseorang dan saya tahu dia punya track record sering selingkuh, saya tak punya jaminan dia tak akan mengulang. 

Saya yakin saya masih punya pilihan lebih baik!

4 comments:

inspirasishasa May 23, 2014 at 12:57 PM  

karena simpati sangat subjektif..

BNI Simpono May 24, 2014 at 3:21 AM  

Capres saat ini kemungkinan besar hanya 2 pasang, jadi pilihannya kalau ngga JOKOWI ya pasti PRABOWO. Hhhmmm... :-D

Yauma Yulida H. May 26, 2014 at 5:43 AM  

karena tidak simpati menjadi sangat subjektif...:D

mencari pilihan yang lebih aman, dengan skala resiko terendah.

Yauma Yulida H. May 26, 2014 at 6:15 AM  

iya, kalau sementara ini menurut saya lebih aman pilih Jokowi karena tidak terikat dengan masa lalu, masanya Orde Baru.

Post a Comment

About This Blog

  © Blogger template Simple n' Sweet by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP