Welcome to Sijang, Aspal
>> Tuesday, May 3, 2016
70 tahun Indonesia merdeka tapi baru di bulan April 2016, warga Sijang bisa merasakan mulusnya aspal. Sebelumnya, warga harus menahan sakitnya badan ketika melewati jalan tanah bergelombang. Sensasinya ketika dilalui dengan kendaraan, mirip berkuda. Ada juga jalan dengan gelombang kecil-kecil sehingga ketika dilewati seperti melewati belasan polisi tidur kurus-kurus yang dideretkan. Hujan yang seringkali menimbulkan ceruk-ceruk pada tanah. Jadi selain tanah becek penuh genangan air, garis-garis aliran air hujan terbentuk. Garis ini akan kering di saat cuaca panas menjadi gelombang-gelombang kecil tadi.
Tapi mengapa aspal di Sijang menjadi sesuatu yang istimewa?
Sijang tentu bukan sebuah tempat yang akan kamu cari di dalam peta. Ia bukan tempat wisata. Ia hanya sebuah desa kecil bagian dari kecamatan Galing, Sambas, sekitar 1 jam sebelum perbatasan Indonesia-Malaysia. Jika kamu pun tidak tahu Sambas, coba lihat di peta Kalimantan Barat. Kabupaten ini terkenal dengan bubur pedas dan kain tenun benang emas. Nah, kecamatan Galing berjarak tempuh 1,5 jam dari Sambas. Kecamatan Galing terkenal dengan kegiatan "Merabu". Kegiatan ini mengacu pada pasar yang ramai dengan pedagang dari kota seperti Sambas yang hanya terjadi pada hari Rabu. Lapak-lapak akan tergelar pada hari ini. Lelong yaitu pakaian-pakaian bekas yang dijual kembali; barang kelontongan murah meriah seperti ember, baskom, keranjang; pelbagai mainan anak dan aksesoris seperti bola, pedang, mobil, ikat dan jepit rambut; dan berbagai hasil tanaman warga contohnya nanas, ubi kayu, keladi, jantung pisang, dan petai. Pada hari ini juga belasan macam kueh mueh akan memenuhi warung-warung. Padahal pada hari biasa, hanya dua atau tiga macam kue yang terlihat. Lalu warga dari berbagai dusun sekitar, dengan dandanan rapi, datang memenuhi area pasar. Seolah-olah hari Rabu adalah sebuah hari raya, hari berpesta. Dan Kecamatan Galing akan terbangun dari tidurnya dengan penuh gairah pada hari ini.
Selain pasar Rabu, Kecamatan Galing juga terkenal sebagai penghasil karet, sawit, lada putih dan lada hitam. Sijang sendiri adalah desa yang mayoritas penduduknya menanam ketiga komoditas perkebunan tersebut. Tidak heran jika banyak siswa sambil membantu orang tua mereka menggarap lahan. Jadi mereka sekolah di pagi hari lalu ke ladang dan kebun di sore hari. Pernah saya menemukan siswa membawa tas penuh lada ke sekolah. Kemungkinan akan dijual selepas sekolah.
Saat ini, siswa sangat bersemangat menanam dan merawat lada. Pernah saya menemukan siswa membawa tas penuh lada ke sekolah. Kemungkinan akan dijual setelah pulang. Lada menjadi primadona karena memiliki harga jual sangat tinggi. Harga lada putih misalnya, dapat mencapai 140 ribu per kilogram. Sedangkan lada hitam mencapai 70 ribu per kilogram. Lada dipanen dua kali dalam setahun. Menurut salah seorang siswa saya, Remi, 100 batang lada bisa menghasilkan 100 kilo sekali panen, tergantung kesuburan tanaman. Silahkan hitung sendiri berapa hasil yang bisa mereka dapatkan.
Namun, lada bukanlah tanaman gampangan. Ia harus benar-benar dirawat dan diolah dengan proses panjang. Perawatan yang dimaksud meliputi memasang kayu turus, membersihkan rumput yang menjadi hama, dan diberi pupuk. Bukan hal yang asing jika melihat orang menaiki motor sambil memikul kayu-kayu besar. Itulah kayu turus yang menyangga tanaman lada. Semakin bagus kayu, semakin lama ia dapat digunakan. Ada turus yang bisa digunakan hingga puluhan tahun. Lada yang sudah dipanen, lalu dicuci dan dijemur hingga siap jual. Lada yang masih lembab biasanya ditolak karena rawan rusak dan tidak tahan lama. Jika melewati area Sijang pada musim panen, terlihat hamparan tikar atau terpal yang menjadi alas lada yang dijemur di halaman rumah bahkan sampai ke tepi jalan.
Aspal di desa Sijang adalah sebuah mimpi dan doa warga yang jadi kenyataan. Dengan adanya aspal, warga akan lebih mudah membeli pupuk, mengangkut turus, dan menjual hasil tanaman mereka.
Selain masalah ekonomi, aspek pendidikan pun diuntungkan. Sijang memiliki sebuah SMA yaitu SMA Negeri 2 Galing. Ini merupakan sekolah induk tempat saya bertugas mengajar Bahasa Inggris. Terdapat kelas X, XI IPS dan XII IPS, masing-masing satu. SMAN 2 Galing berusia 4 tahun, namun baru setahun menempati gedung sendiri. Sekolah ini didirikan atas usulan warga Sijang karena melihat jauhnya anak-anak lulusan SMP harus bersekolah. SMA terdekat adalah SMA 1 Galing yang dulu masa tempuhnya mencapai 30-45 menit tergantung kondisi cuaca.
Di SMAN 2 Galing, hanya ada tiga guru pegawai negeri yaitu pelajaran Matematika, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Selain itu, yang mengajar adalah guru honor. Rata-rata guru berdomisili jauh dari sekolah. Hanya ada 3 guru yang merupakan warga Sijang. Selain itu, guru berdomisili di Galing dengan jarak tempuh 30-45 menit saat jalan rusak. Bisa lebih lama ketika cuaca hujan. Saya sendiri berdomisili di Sambas. Dulu saya menghabiskan 1-2 jam perjalanan pergi atau pulang sekolah. Ini berarti 3-4 jam pulang pergi. Belum lagi ketika musim hujan dan ada jembatan yang direndam banjir.
Dengan adanya aspal, guru akan semakin mudah mencapai sekolah. Misalnya saya yang sekarang hanya perlu 1 jam perjalanan dari rumah. Selain itu, guru baru yang kelak ditugaskan ke SMAN 2 Galing tidak perlu lagi gentar dengan kondisi jalan. Semangat dan energi guru tidak lagi habis di jalan tapi habis untuk memperhatikan dan membantu siswa di sekolah, seperti yang seharusnya terjadi.
Aspal juga berjasa memudahkan lulusan kami tahun ini. Mereka jadi semangat mengikuti seminar perkenalan universitas-universitas Pontianak yang diadakan di Sambas. Beberapa dari mereka mendapat PMDK sepulang dari seminar ini. Belum puas, beberapa siswa mencari info beasiswa bidik misi politeknik yang terletak di Sambas. Besoknya baru mereka ke sekolah melengkapi persyaratan yang diminta untuk pendaftaran. Kali ini mereka tidak perlu ragu bolak balik karena mudahnya menjangkau ibukota kabupaten, tidak seperti dulu.
Seandainya aspal datang 10 tahun lebih cepat, bisa jadi Sijang menjadi materi buku ilmu sosial dengan segala potensi alamnya. Sebab pendidikan akan datang lebih cepat, bermutu lebih tinggi, dan anak-anak Sijang akan menebarkan cerita tentang kampungnya yang menjadi lumbung devisa.
0 comments:
Post a Comment