MEMBACA SENO

>> Sunday, August 31, 2008


Menyenangi Seno dalam kasusku tidaklah seperti orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku sempat membenci karyanya. Satu tulisan yang kubaca sekitar tahun 2006 lalu terasa asing. Aku bahkan tak ingat judulnya. Yang membekas hanyalah kalimatnya panjang-panjang dan susah dimengerti. Berputar-putar. Berbelit-belit. Membingungkan. Melelahkan. Betapa.

Sampai suatu ketika aku bertemu dengan seseorang yang menolak disebut guru. Meski aku telah belajar banyak hal darinya lewat sharing yang tentu menyita waktu. Padahal ia orang sibuk. Nah, dialah yang piawai memperkenalkan aku pada Seno. Dia mulai mengoceh tentang sepotong senja. Kurasa karena dia tahu aku mengagumi pemandangan yang satu ini. (Kami pernah mengejar senja yang akan jatuh ke garis cakrawala beberapa waktu lalu).

Dia dan Seno juga. Sama-sama kasmaran pada senja. Dia memulai kisahnya dengan pembukaan yang sangat menggelitik. Dia bilang,”Seno cerita, ada seseorang yang nekat mengerat senja untuk dikirim ke pacarnya”. Gila, batinku. Mana bisa senja dikerat apalagi dikirim? Aku menunggu kelanjutan cerita itu. Tapi ia berhenti. Esoknya, ia membawakan aku sebuah buku karangan Seno.

Yah, buku sudah di tangan. Mau tak mau harus dibaca. Buku itu lumayan tebal. Tapi covernya tidak begitu menarik. Gambar dan warnanya tidak indah, tidak lembut, tidak catchy. Tidak juga menggambarkan gaya penulisan Seno yang cenderung abstrak.

Namun aku mulai juga menggeluti halaman per halaman. Membaca narasi tentang senja yang berputar-putar entah kemana. Aku seolah menjejalkan obat tanpa minum. Mulutku—maksudku otakku—penuh. Lalu aku ingat ujaran seseorang yang menolak disebut guru dan penyair tadi,”Kalimat-kalimat Seno itu berenergi. Apalagi kekuatan deskripsinya yang seolah dapat menghadirkan senja di hadapan pembaca”.

Entah aku terdoktrin ujaran tadi atau ini pendapatku sendiri, tapi aku menemukan jalinan energi itu. Kalimat-kalimat yang memberikan kesan mendalam namun tegas mulai terasa. Tak peduli panjang, namun tetap tak kehilangan makna.

Perjalananku dimulai. Aku seolah menyeberang ke sisi lain cermin. Aku mengunjungi sebuah kota di mana pelangi tak pernah pudar. Di sana aku bersua dengan Sukab dan peternakan kunang-kunang Mandarinnya, mendengar cerita tentang ikan paus merah, dan anak-anak senja. Juga dunia hitam putih (yang pernah ingin kutulis juga). Aku mulai rindu pada “senja merah membara yang membakar langit gemawan”. Begitulah bahasa Seno menjabarkan senja. Seno memang tidak sama dengan pencinta senja lainnya. Ia seolah orang yang menghabiskan waktu menekuri senja. Di pantai, dekat laut terutama. Karenanya ia mampu menyisipkan detail-detail yang terlupakan tentang senja.

Mungkin juga aku terkesan dengan cerita-cerita itu karena merasa menemukan apa yang kucari selama ini. Aku terlalu lelah terkekang batas-batas logika yang menjadi Tuhan bagi banyak orang. Membaca Seno yang menulis begitu bebas, ikatan yang menggigit sel-sel otakku untuk berpikir dan menulis di batas awam, terlepas. Aku mulai belajar, sesuatu yang asing bisa jadi sangat menarik ketika kita memberi ruang untuk mengenal.

Kekuatan lain Seno terletak pada cara berceritanya. Ia mampu meracuni pikiran pembaca bahwa yang tengah diceritakannya benar-benar ada. Di suatu tempat yang bisa terjangkau, bisa juga tidak. Ia mampu menghadirkan Sukab dan senja yang sempurna dan beragam. (Kalimat itu bisa berarti Sukab yang sempurna dan beragam atau senja yang sempurna dan beragam. Karena memang demikian keadaannya). Belum lagi bicara tentang ending. Membaca setiap cerita ibarat naik bis tanpa tahu tujuan. Kita tak pernah tahu akan dibawa kemana oleh pengemudi satu ini. Setiap akhir tak terduga dan tak terbatas. Bukannya selesai, yang ada hanyalah pertanyaan-pertanyaan baru. Misalnya, Sebenarnya apa dan siapa anak-anak senja dan peselancar agung?

Belum khatam membaca buku terbitan Gramedia tahun 2002 ini, kalimat-kalimat tentangnya sudah menyembur bak peluru dari cannon kompeni. Malah tak ada yang tepat untuk mengakhirinya. “Kecuali mungkin menyelam kembali ke dalam amplop, mengembara bertahun-tahun bersama tukang pos untuk mengantarkan senja yang jingga kepada Alina*”.

*Nukilan beberapa kisah dalam novel “Sepotong Senja untuk Pacarku”.

(Tulisan ini dipublikasikan di Harian Borneo Tribune Pontianak, edisi 31 Agustus 2008)

0 comments:

Post a Comment

About This Blog

  © Blogger template Simple n' Sweet by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP