Resensi Buku : Revolusi Sekolah

>> Monday, August 25, 2008

Pengarang : Fahd Djibran
Ukuran Buku : 17 cm, 276 halaman.
Jenis Buku : Non fiksi
Penerbit : DAR! Mizan Remaja
Peresensi : Yauma Yulida Hasanah

Apa itu sekolah? Di Indonesia, sekolah identik dengan pendidikan dan kesuksesan. Padahal fakta menunjukkan banyak juga orang sukses yang bahkan tidak menyelesaikan studinya. Misalnya Bill Gates, Bapak Microsoft, yang terdata sebagai orang terkaya di dunia. Ironisnya, dia bahkan tidak menyelesaikan studinya di Universitas Oxford, Inggris. Kenal Willy Sidharta? Beliau adalah seorang Presiden Direktur di PT Aqua Missisipi bahkan tanpa titel sarjana. Jadi pertanyaannya, untuk apa sekolah?

Begitulah sedikit bagian awal dari buku berjudul Revolusi Sekolah. Tema utama buku ini adalah pembahasan mengenai pendidikan di sekolah, tempat yang disebutkan oleh penulis sebagai suatu instansi yang bermasalah. Problematika yang dikemukakan antara lain pembodohan dalam sistem pendidikan, kebobrokan sistem pendidikan, dan kegagalan sekolah menciptakan generasi bangsa sesuai yang dicita-citakan dalam tujuan nasional pendidikan.

Hingga saat ini, para siswa bahkan kurang menyenangi sekolah yang selama ini dikatakan untuk mereka. Sekolah hanyalah menjadi suatu rutinitas dan kewajiban semata. Ini bertentangan dengan asal bahasanya yaitu Scholae, dari bahasa Yunani yang berarti waktu luang. Karena pada sejarahnya, kegiatan persekolahan adalah proses yang dilakukan dengan sukarela di waktu senggang. Hasilnya? Para pelajar saat itu mampu menyerap pelajaran dengan baik. Sekolah berubah menjadi ”penjara” saat Revolusi Industri di Inggris. Menurut penulis, hal ini terjadi karena sekolah adalah tempat mencetak tenaga kerja siap pakai bagi kaum kapitalisme.

Oleh karena itu, penulis menekankan pentingnya revolusi sekolah saat ini juga. Revolusi dapat dibagi menjadi dua, revolusi dari pribadi siswa (revolusi mental) dan revolusi dari implementasi pendidikan di sekolah. Revolusi mental dapat dimulai dengan pemaknaan ulang tentang sekolah dan bersekolah oleh siswa sehingga dapat membangkitkan kesadaran total untuk sekolah. Dengan demikian, permasalahan yang santer selama ini tentang tawuran, bullying (gencet-gencetan), seks bebas dan narkoba dapat terhindarkan.

Perkembangan siswa pun tak lepas dari peran sekolah. Setiap tindak kekerasan bisa jadi adalah akibat kekerasan yang terjadi di sekolah, baik secara fisik maupun non-fisik. Sistem pengajaran di sekolah juga merupakan bentuk pembodohan karena sisem pegajaran yang terjadi adalah pembelajaran satu arah. Dalam kondisi ini, siswa diibaratkan celengan kosong yang siap diisi oleh pandangan-pandangan guru, tanpa melatih pemikiran siswa itu sendiri. Di bagian akhir buku, dipaparkan cara merealisasikan revolusi sekolah bagi kedua belah pihak.

Penulisan buku ini ternyata merupakan realisasi dari kerinduannya untuk perbaikan sistem pendidikan di Indonesia. Selain itu, buku ini menuangkan beberapa pengalaman pribadi penulis memberontak sistem pendidikan di sekolahnya. Fahd semasa sekolah ternyata sering mengalami masalah dengan sekolah bahkan ketika ia menuntut ilmu di pesantern. Meskipun demikian, dia tercatat sebagai siswa yang cerdas dan selamat dari ancaman dikeluarkan karena nilai rapornya selalu tertinggi. Buku ini adalah buku ketiganya setelah sebelumnya menulis ”Kucing” (Magnum Opus, 2004) dan ”Being Superstar” (DAR! Mizan, 2005).

Segmentasi pembaca untuk buku ini berkisar antara pelajar SMP dan SMA karena dibutuhkan penalaran sedikit lebih jauh dalam membaca argumentasi penulis yang sedikit radikal. Dari segi isi, buku ini dapat dikatakan cukup baik karena dapat membuka wawasan pembacanya. Tidak hanya memaparkan wacana, penulis juga mampu menawarkan solusi yang berkenaan dengan Revolusi Sekolah. Bahasa yang digunakan cukup mudah dimengerti dan disusun dengan bahasa ilmiah populer.

Namun buku ini juga memiliki kekurangan dari segi penulisan. Opini yang disampaikan penulisan agak kurang padu. Akibatnya, terjadi banyak perulangan ide seperti perulangan ide kekerasan yang terpisah di dua bab yang berbeda. Padahal, akan lebih baik ide tersebut disampaikan secara utuh agar contoh yang disampaikan tidak melulu sama dan mengakibatkan kebosanan pada pembaca. Beberapa contoh yang ditampilkan pun ada yang kurang relevan ataupun kurang memenuhi kualifikasi karena diambil dari cerita fiksi yang notabene tidak jelas batas kebenarannya. Motivasi yang diberikan penulis kurang terasa karena faktor-faktor di atas. Akhirnya, meski tulisan ini berisi fakta yang radikal, sayangnya masih kurang ”mengigit” karena kurangnya observasi dari penulis.

0 comments:

Post a Comment

About This Blog

  © Blogger template Simple n' Sweet by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP