MONOLOG KEPERGIAN

>> Friday, September 19, 2008

Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan bagi semua orang. Ya kan?! Aku sudah lelah menunggumu sendirian dan punya waktu luang untuk bercerita denganku meskipun setiap minggu kau tak pernah alpa mengunjungiku. Barulah sekarang kita bisa bertemu dan akan kumulai sebuah kisah untukmu. Boleh ya? Tapi ingat, kau harus dengar baik-baik cerita ini. Dan sebelumnya aku ingatkan kita harus kembali ke masa dua bulan lalu sebelum aku berada di sini.

***

Saat itu aku berusia 17 tahun. Ya, gadis berkulit putih, berambut panjang, dan bertubuh sedang yang tengah mengalami fase menuju kedewasaan. Identik dengan kebiasaan mendramatisir masalah. Entah itu masalah keluarga, teman-teman, bahkan yang berbasis cinta. Padahal, harusnya saat itu kuinsyafi bahwa kehidupan tak pernah lepas dari yang namanya masalah. Kehidupanku adalah kehidupan ala sinetron saat prime time. Hanya saja lebih realistis.

Masalah pertama adalah tentang hubunganku dengan keluargaku yang tak pernah harmonis. Di rumahku ada sembilan orang yang tinggal termasuk sepupu-sepupu yang sedang mondok. Setiap hari selalu saja ada yang menjadi pemicu perang bahkan soal gelas sekalipun. Semuanya berkeras pada ego masing-masing sehingga dalam setiap pertengkaran, aku yang paling kecil, harus terus menyerah kalah. Tak ada yang membelaku. Orangtua? Mereka sudah terbang ke surga.

Dalam pergaulan aku juga tak lebih beruntung. Teman-temanku sering meninggalkan aku sendirian sehingga aku merasa kesepian meskipun mereka berseliweran di sekitarku. Baiklah, aku akui ada alasan yang membuat mereka menjauhiku. Watakku yang sensitif dan temperamental adalah hal sulit mereka terima. Bukannya aku tak pernah berusaha berubah. Sudah. Sayangnya setiap aku mulai berhasil, semuanya menjadi mentah seperti awalnya karena teman-temanku tetap tak percaya. Akhirnya aku lebih memilih diam dan membangun citra individualis dan introvert yang membuatku lebih merasa aman.

Namun, tentu saja aku juga manusia biasa yang membutuhkan muara untuk berkeluh kesah. Untungnya waktu itu aku memiliki seorang kekasih bernama Yoga yang berusia delapan tahun di atasku. Ia khas dengan kedewasaan, berkulit sawo matang, tinggi dan penyayang. Kepadanyalah aku mengadukan masalahku dan setelahnya aku merasa lebih tenang. Begitu terus seolah Yoga adalah candu bagiku. Wajar kan? Dia adalah satu-satunya orang bisa menerimaku apa adanya, mengerti keluhan-keluhanku, juga tak pernah berhenti menyemangatiku. Darinya aku tahu arti kebahagiaan. Saking bahagianya, aku mulai sering mendengar suara-suara yang kadang sangat keras dan menggangu. Suara itu terus memprovokasiku. “Dia” berkata jika Yoga pergi, siapa lagi yang akan mendengarkan keluh kesahku. Dan aku tersugesti. aku berubah menjadi orang yang posesif. Aku berusaha membatasi akses pergaulannya apalagi dengan teman wanita. Kemana dia pergi, aku pasti memaksa ikut dan jika aku tidak diperbolehkan (meski dikatakan secara halus), aku akan terus-menerus menghubungi telepon genggamnya.

Alhasil, Yoga merasa “gerah”. Bahkan dia sudah bosan. Menurutnya ini sudah berlebihan dan aku harus berubah (Huh, aku sudah jengah dengan kata itu). Dia berjanji akan berada di dekatku dan membantuku memindahkan beban berat dari kepalaku. Tapi sekali lagi, aku harus berubah. Kala itu aku berjanji. Namun, seperti yang sudah bisa kutebak, semua terjadi hanya untuk beberapa saat. Setelahnya, rasa khawatir lebih mendominasi daripada rasa percaya. Akhirnya, cinta Yoga menguap dan perlahan dia mulai meninggalkanku.

***

( Seseorang menepuk pundakku perlahan )

Aduh, maaf ! Kutunda dulu ceritanya sebab ada orang yang memanggilku. Dia minta izin untuk duduk di sampingku. Tentu saja aku perbolehkan. Kau bertanya siapa dia? Oh, dia Pak Harjo. Usianya 75 tahun. Profesinya adalah seorang seniman. Dulu saat aku sekolah, dia adalah pelatih teater. Bagiku, teater adalah dunia yang bisa membuatku menghargai diri sendiri. Tapi kemudian aku bosan dan berhenti. Walaupun begitu, aku tetap menyenangi dunia itu.

Wajah Pak Harjo sekarang masih terlihat segar meskipun beliau sudah bungkuk dan rapuh fisiknya termakan usia. Mungkin karena wajahnya yang selalu terlihat ramah ya? Apa katamu? Bagaimana dia bisa berkesenian di usia setua ini? Tuh dengar sendiri jawabannya:
“Bagiku kesenian adalah proses kehidupan. Berkesenian tidak mutlak hanya dalam bentuk membuat puisi, menulis, bermusik, atau berteater tapi juga dalam penerapan nilai etis dan estetika kesenian itu sendiri dalam kehidupan kita”.

Yah, memang begitulah pandangan Pak Harjo tentang kesenian. Dari dulu beliau sangat menghargai seni terutama teater karena teater adalah kesenian yang kompleks dan sebuah paket yang berisi beragam bentuk seni. Katanya, teater adalah miniatur kehidupan dan realitas. Jadi bukan hanya sebuah pentas dengan judul yang berbeda di tiap kesempatan. Itulah yang pernah juga beliau tanamkan padaku dan itu tercermin dari perilakunya sehari-hari. Jadi bukan hanya teori yang dicetuskan dan kemudian jadi omong kosong untuk menambah wibawa. Aku sendiri kagum padanya dan terus mencoba merefleksikannya dalam hari-hariku. Tapi mungkin aku bisa dibilang gagal karena aku tak dapat terus menjunjung konsep tersebut dan melaksanakannya secara ideal dalam hidupku.

Sepertinya nama Pak Harjo sudah dipanggil. Padahal masih ada hal yang ingin kutanyakan. Tapi aku tak ingin merepotkannya. Langsung saja kubantu beliau bangkit dan dapat kita lihat dari sini bahwa dia berjalan tertaih-tatih menuju sebuah ruangan besar berwarna putih tepat di belakang kita. Eh, sebelum ke sana, beliau berbisik mengucapkan salam bagi kita berdua. Beliau bilang mengapa kau tak kuajari sastra. Kujawab saja dengan senyum. Kurasa dia pun tahu bahwa waktu sudah tak lagi memberikan kelapangan untuk itu.

Nah, sekarang kita tinggal berdua lagi. Apa katamu? Baiklah, tadi sampai di mana ya? O iya, lalu ....

***

Yoga mulai bekerja di sebuah perusahaan yang besar sebagai supervisor. Aku juga tidak tahu bagaimana bentuk pekerjaannya, tapi yang kutahu sejak saat itu dia sibuk sekali hingga tidak sempat memanjakanku, seperti janjinya setiap kami bertemu. Ritual malam minggu dan jalan-jalan di hari minggu sudah tak pernah lagi dilakukan. Selain itu, belum tentu kami bisa bertemu sekali dalam satu bulan.

Dia tidak pernah lagi memikirkan kemampuan yang merajaiku ketika aku sendiri, menunggu kabar yang jarang dia berikan. Aku letih dengan kesepian, kesendirian, dan takut kehilangan. Rindu menggigitku setiap malam layaknya dingin yang menyusup ke tulang. Sungguh tak bisa kuceritakan perasaanku yang campur aduk saat itu. Bahkan kalaupun aku bisa, tidak akan ada yang mau mendengar.

Namun kemudian aku berkenalan dengan berbagai merk obat tidur untuk menjinakkan insomnia dan kegelisahan yang sangat hebat pada tengah malam. Dalam tidurku yang lelap itu, aku bisa bertemu dengan mas Yoga dan berbagi keluhan tentang hari ini. Dia selalu mendengarku lalu mengajakku berpikir positif. Sejak saat itu, kehidupanku sepertinya menjadi lebih baik. Obat tidur membantuku terlelap dan menggantikan pelukan seorang ibu dan senandung nina bobo. Pada keluargaku kukatakan aku sakit pada minggu pertama kebiasaan ini. Makanan dan obat generik terus diantar ke kamar, tempat aku bermanja dengan peraduan. Tapi hanya sedikit yang kusentuh. Aku lebih membutuhkan air. Masalah mandi dan lainnya apalagi sekolah adalah urusan keenambelas. Obat tidur terus meracuniku. Anehnya aku tidak merasa takut. Malah aku merasa lebih ceria dan bisa tertawa.

Dalam kehidupan nyata, Yoga tidak pernah menghubungiku. Kabar terakhir yang kudengar adalah dia sudah berpacaran dengan wanita lain dan sebentar lagi akan menikah. Wah, cepat sekali dia melupakanku. Hanya dalam hitungan bulan. Terserahlah! Mimpi pun sudah memuaskanku. Memang aku merasa agak aneh karena aku tak lagi bisa membedakan dunia nyata, mimpi, atau khayalan. Yang kuinginkan adalah semua kejadian bisa berjalan sesuai keinginanku. Tidak ada lagi kesedihan, hanya kebebasan terindah yang kurasakan dalam dunia di mana cuma ada aku dan bayang-bayang Yoga.

Tapi mengapa mimpi buruk yang ada di dunia nyata harus menginterupsi mimpi yang selama ini kunikmati? Bermula dari mimpi di suatu waktu (entah siang, entah malam karena aku tak pernah lagi memperhatikan waktu). Dalam mimpi itu, Yoga tidak lagi menghiraukan ceritaku, mungkin ia sudah bosan. Dia tak peduli dan hanya menulisi kertas yang berasal dari map-map yang menggunung di atas mejanya. Ketika aku ingin protes, aku terbangun.

Yang ada dalam pikiranku hanya satu, obat tidurku kurang aku melanjutkan tidur lagi untuk memperbaiki mimpi tadi setelah sebelumnya aku meminum tiga pil tidur yaitu dosis yang kuminum jika aku tak bisa tidur. Tapi kali ini mimpi itu datang lagi. Kali ini aku melihat Yoga melangkah pergi menuju sebuah pelaminan. Di sana, seorang wanita dengan pakaian adat jawa telah menunggu. Aku mengejarnya dengan ragu dan belum sampai sepuluh langkah aku sudah terjerembab.

Ketika itulah, untuk kedua kalinya, aku terbangun dengan keringat dingin mengucur. Aku mengutuk mimpi tadi dan membalik bantal aku aku tak lagi bermimpi buruk. Aku dengan sangat kesal meneguk obat tidur dengan dosis dua kali dari sebelumnya. Kemudian apa yang kutemui? Seorang wanita cantik berkulit putih menyilahkan aku duduk untuk menunggu giliran bertemu Tuhan. Seketika aku merasa nafasku sesak dan suara detak jantungku tak terdengar lagi. Dingin dan kaku merambah ke seluruh tubuh karena darah sudah berhenti mengalir. Aku berteriak dan mencoba bangun dari mimpi ini.
Gagal.
Gelap.

***

Nah, begitulah kisahku. Sejak kemarin aku menunggu bersama orang-orang yang ada di ruangan ini termasuk Pak Harjo tadi. Kau dengar tidak suara barusan? Ya, aku sudah dipanggil. Tenang saja, jangan bersedih. 40 hari lagi aku akan menemuimu dan bercerita tentang Tuhan
Ingat, jangan pernah berhenti menziarahi makamku.

Pontianak, Mei 2007

*Cerpen ini dimuat dalam buku kumpulan cerpen PSP SMA 4 Batam sebagai juara II Lomba Cerpen PSP II.

0 comments:

Post a Comment

About This Blog

  © Blogger template Simple n' Sweet by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP