Ibu yang Anaknya Diculik Itu
>> Sunday, November 23, 2008
Ini judul cerpen baru SGA. Terbit di KOMPAS edisi Minggu, 16 November 2008. Ceritanya tentang seorang ibu yang kehilangan anaknya. Katanya diculik. Tapi hingga bertahun-tahun kemudian tak juga jelas sebab musabab hilangnya anak itu. Satria.
Anak yang tak beruntung itu meninggalkan keluarga dan pacarnya. Saras. Satria hilang, Saras tak juga bisa melupakan. Malah hubungan ia dan keluarga Satria makin dekat. Ia setelahnya juga sibuk mencari-cari fakta di balik penculikan Satria.
Sang ibu yang kehilangan tetap bertanya-tanya:"Benarkah putranya diculik?" Sesekali diwarnai makian, hujatan, dan sumpah-serapah. Bertanya jawab dengan sang suami. Tapi hingga suaminya meninggal, tak juga jawaban itu hadir. Sampai suatu malam yang penuh kesendirian dan penantian, Saras menelepon.
”Gila!” Ibu berujar kepada tokek di langit-langit yang tidak tahu menahu.
”Para pembunuh itu sekarang mau jadi presiden!”
Demikianlah Sebuah karya yang peka meski tak sedalam dan seunik biasanya. Disajikan dalam dialog-dialog layaknya drama. Seperti biasanya, sebagai seorang supir, Seno "menabrak" dengan lihai.
Cerpen ini seolah menjawab pertanyaan saya.
Saya ingat beberapa hari lalu di sebuah rumah makan, saya berbincang dengan seorang teman. Mengeluh bersama-sama tentang para "penculik" yang memakai jurus lama Suharto.
"Rakyat perlu makan"
"Rakyat perlu sekolah"
Slogan.
Saya ingat kata Andreas Harsono pada pelatihan narrative reporting Tribune Institute
angkatan pertama,"Jangan pakai slogan, tidak menarik".
Berbeda memang konteksnya. Yang satu tulisan, yang satu propaganda. Tapi yang jelas, rakyat sudah kenyang makan slogan.
Tapi sejujurnya slogan dan aksi-aksi branding ini cukup mengkhawatirkan. Mayoritas masyarakat Indonesia awam. Pendidikan politik begitu rupa belum masuk. Mereka masih mudah diperdaya.
Itu yang menjadi akar keluhan saya dan teman malam itu. Bagaimana jika masyarakat jatuh ke lubang yang sama? Memilih calon yang rupanya titisan Suharto?
Teman saya mengusulkan solusi. Tulis dengan berimbang siapa kandidat itu. Baik dan buruk sekaligus. Pernah menculik atau pernah menyumbang. Semuanya. Transparan. Minimal branding-branding di televisi punya balancing. Sebab kita tahu, iklan itu hasutan halus. Tak sadar terbujuk juga.
Saya bertanya lagi,"Siapa yang bisa?"
Saya lupa jawaban teman saya itu.
Yang jelas tak terbayangkan jika negara ini jatuh ke titisan Suharto.
Mimpi buruk lagi. Mimpi buruk lagi.
1 comments:
terkadang slogan banyak dipake oleh masyarakat sekitar karena pemberi motivasi dan mudah di ingat.. tapi lain ceritanya dengan narrative reporting...
ajib bu... keren!
Post a Comment