Sudahkah KIta Merdeka?
>> Friday, September 19, 2008
Sudah satu dekade sejak kita berteriak-teriak menuntut reformasi. Sejak kita mengganyang Suharto dari kursi yang betah ia duduki selama 32 tahun. Kekuasaan dan feodalisme. Kasta dan hubungan kekerabatan.
Yah, kata Seno dalam karya pemberontakannya, iblis memang tak akan pernah mati hingga manusia habis binasa dari dunia ini. Sebab manusia itulah yang membawa iblis dalam diri mereka. Seperti juga membawa malaikat di bagian yang lain.
Kita minta merdeka. Tapi kita memang tidak merdeka. Hanya bergeser dari satu penjajahan ke penjajahan lain. Kemarin oleh kumpeni, hari ini bahkan oleh institusi pendidikan.
Bukan. Tipenya bukan dengan menodongkan bayonet—senapan dengan pisau di ujungnya—ke dada atau digebuk dengan pangkal senapan di kepala. Cara itu sudah kuno, basi. Tambahan lagi, tidak manjur. Maka, penjajahan itu dimulai dari kepala, paradigma, dari pemikiran.
Penjajahan masuk ke sekolah-sekolah. Penyeragaman dari mata pelajaran, kurikulum, bahkan sepatu hitam dan kaos kaki. Itu sudah tertanam dalam pemikiran masyarakat awam sehingga menjadi sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan. Padahal apalah sangkut pautnya warna dan keberhasilan penyampaian. Atas nama kedisplinan? Lebih banyak yang bisa digunakan untuk mengajarkan itu. Tepat waktu, misalnya. Hal yang tak pernah sukses dipahami dan dimiliki manusia Indonesia, bahkan oleh guru yang mengaku pendidik dan pengajar.
Tapi sistem tak pernah salah apalagi dirubah. Hanya memunculkan topeng-topeng baru, moral dan norma.
Seperti ditulis Seno, “Sudah terlalu banyak kata-kata rusak dan tak bermakna”. Luber di papan, ubin, bertebaran di udara. Sudah banyak janji untuk kebebasan. Tapi sebenarnya hanya perangkat untuk menjebloskan manusia di kubangan yang dulu-dulu lagi.
Sejak dini, siswa mulai dibentuk mengikuti sistem. Pemikirannya dibakukan. Mereka didorong menjadi kritis bukan untuk menemukan sesuatu yang logis. Tapi untuk memblokade argumen-argumen liar yang bercokol di kepala siswa tersebut. Untuk diarahkan agar mengikuti jalur yang “lurus” sesuai sistem.
Intinya, siswa diajarkan pola pendidikan yang monoton. Dikendalikan pemikiran ala kapitalis. Di mana sekolah dikomersialkan (buktinya sekolah mahal) dan hanya sebagai pabrik pencetak calon tenaga kerja. Hidup itu hanya berjalan dari lahir, TK, SD, SMP, SMA, kuliah cepat selesai, kerja, dan seterusnya sampai mati. Padahal dunia ini luas. Perlu dieksplorasi. Namun itulah kehebatan sistem kapitalisme hingga tak ada yang sadar. Semua jadi boneka-boneka baru.
Sejak kecil, anak-anak diracuni: Betapa tidak pentingnya berorganisasi. Untuk apa? Tidak dapat uang, hanya menghabiskan waktu. Lebih baik cepat-cepat selesai sekolah. Biar cepat dapat kerja. Lalu apalah arti ilmu dan pengalaman?
Berlanjut ke perguruan tinggi. Dulu katanya mahasiswa itu ditakuti penguasa yang paling puncak sekalipun. Berani memperjuangkan cita-cita bangsa, negara, rakyat apalagi mereka sendiri. Kritis dan ilmiah. Cerdas. Apalagi teknologi dan mudahnya penyebaran informasi saat ini yang harusnya bisa membuka wawasan mahasiswa. Namun karena sudah diantisipasi dari awal agar generasi berikut “main aman”, maka para pemegang kekuasaan di tingkat mana pun boleh tenang. Ibarat selang yang sudah dibocorkan dalam perjalanan alirannya, di ujung mereka tidak akan menyembur kuat lagi. Itulah politik penjajahan saat ini.
Sejarah berulang. Hanya modus yang berbeda. satu dasawarsa lalu mata kita terbuka dengan segala penculikan mahasiswa yang vokal dan pembredelan media yang dianggap tidak loyal. Sekarang semua yang kritis dipatahkan argumentasinya, dirusak reputasi, dan diserang secara personal. Apa yang disuarakan penguasa adalah mutlak.
Alangkah bosan hidup di dunia seperti itu.
Maka pelan-pelan ada sekelompok orang yang bangun. Lalu dengan hati-hati membangunkan temannya yang terlelap. Sayangnya ketahuan para algojo sistem. Diam-diam dari dalam gelap, algojo muncul untuk memotong lidah dan tangan mereka yang bangun itu agar kembali ke barisan, berjalan “lurus”, lagi-lagi demi sistem.
Apalah arti merdeka kita?
Yah, kata Seno dalam karya pemberontakannya, iblis memang tak akan pernah mati hingga manusia habis binasa dari dunia ini. Sebab manusia itulah yang membawa iblis dalam diri mereka. Seperti juga membawa malaikat di bagian yang lain.
Kita minta merdeka. Tapi kita memang tidak merdeka. Hanya bergeser dari satu penjajahan ke penjajahan lain. Kemarin oleh kumpeni, hari ini bahkan oleh institusi pendidikan.
Bukan. Tipenya bukan dengan menodongkan bayonet—senapan dengan pisau di ujungnya—ke dada atau digebuk dengan pangkal senapan di kepala. Cara itu sudah kuno, basi. Tambahan lagi, tidak manjur. Maka, penjajahan itu dimulai dari kepala, paradigma, dari pemikiran.
Penjajahan masuk ke sekolah-sekolah. Penyeragaman dari mata pelajaran, kurikulum, bahkan sepatu hitam dan kaos kaki. Itu sudah tertanam dalam pemikiran masyarakat awam sehingga menjadi sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan. Padahal apalah sangkut pautnya warna dan keberhasilan penyampaian. Atas nama kedisplinan? Lebih banyak yang bisa digunakan untuk mengajarkan itu. Tepat waktu, misalnya. Hal yang tak pernah sukses dipahami dan dimiliki manusia Indonesia, bahkan oleh guru yang mengaku pendidik dan pengajar.
Tapi sistem tak pernah salah apalagi dirubah. Hanya memunculkan topeng-topeng baru, moral dan norma.
Seperti ditulis Seno, “Sudah terlalu banyak kata-kata rusak dan tak bermakna”. Luber di papan, ubin, bertebaran di udara. Sudah banyak janji untuk kebebasan. Tapi sebenarnya hanya perangkat untuk menjebloskan manusia di kubangan yang dulu-dulu lagi.
Sejak dini, siswa mulai dibentuk mengikuti sistem. Pemikirannya dibakukan. Mereka didorong menjadi kritis bukan untuk menemukan sesuatu yang logis. Tapi untuk memblokade argumen-argumen liar yang bercokol di kepala siswa tersebut. Untuk diarahkan agar mengikuti jalur yang “lurus” sesuai sistem.
Intinya, siswa diajarkan pola pendidikan yang monoton. Dikendalikan pemikiran ala kapitalis. Di mana sekolah dikomersialkan (buktinya sekolah mahal) dan hanya sebagai pabrik pencetak calon tenaga kerja. Hidup itu hanya berjalan dari lahir, TK, SD, SMP, SMA, kuliah cepat selesai, kerja, dan seterusnya sampai mati. Padahal dunia ini luas. Perlu dieksplorasi. Namun itulah kehebatan sistem kapitalisme hingga tak ada yang sadar. Semua jadi boneka-boneka baru.
Sejak kecil, anak-anak diracuni: Betapa tidak pentingnya berorganisasi. Untuk apa? Tidak dapat uang, hanya menghabiskan waktu. Lebih baik cepat-cepat selesai sekolah. Biar cepat dapat kerja. Lalu apalah arti ilmu dan pengalaman?
Berlanjut ke perguruan tinggi. Dulu katanya mahasiswa itu ditakuti penguasa yang paling puncak sekalipun. Berani memperjuangkan cita-cita bangsa, negara, rakyat apalagi mereka sendiri. Kritis dan ilmiah. Cerdas. Apalagi teknologi dan mudahnya penyebaran informasi saat ini yang harusnya bisa membuka wawasan mahasiswa. Namun karena sudah diantisipasi dari awal agar generasi berikut “main aman”, maka para pemegang kekuasaan di tingkat mana pun boleh tenang. Ibarat selang yang sudah dibocorkan dalam perjalanan alirannya, di ujung mereka tidak akan menyembur kuat lagi. Itulah politik penjajahan saat ini.
Sejarah berulang. Hanya modus yang berbeda. satu dasawarsa lalu mata kita terbuka dengan segala penculikan mahasiswa yang vokal dan pembredelan media yang dianggap tidak loyal. Sekarang semua yang kritis dipatahkan argumentasinya, dirusak reputasi, dan diserang secara personal. Apa yang disuarakan penguasa adalah mutlak.
Alangkah bosan hidup di dunia seperti itu.
Maka pelan-pelan ada sekelompok orang yang bangun. Lalu dengan hati-hati membangunkan temannya yang terlelap. Sayangnya ketahuan para algojo sistem. Diam-diam dari dalam gelap, algojo muncul untuk memotong lidah dan tangan mereka yang bangun itu agar kembali ke barisan, berjalan “lurus”, lagi-lagi demi sistem.
Apalah arti merdeka kita?
0 comments:
Post a Comment