Politik Dangdut
>> Tuesday, March 17, 2009
Dangdut adalah “pahlawan” politik Indonesia dari dulu hingga sekarang. Buktinya, musik ini bisa menggantikan posisi pendidikan politik dalam tiap kampanye. Bahkan ialah saksi utama bagaimana wakil rakyat menawarkan diri dari panggung ke panggung. Bagaimana wakil rakyat memberangus keraguan massa dengan berjoget. Setelahnya baru wakil rakyat mulai mengumbar janji-janji. Rakyat yang telah terbius oleh entah goyangan siapa tak peduli lagi. Riuh terdengar tepuk tangan mereka selepas pidato sang wakil. Namun kata-kata hanya numpang lewat. Seperti angin yang singgah di daun kelapa. Tak berbekas.
Sebab pandangan mereka tidak mengarah pada siapa yang berbicara. Mata-mata itu jelalatan melihat penyanyi yang meliuk-liuk dalam pakaian yang lengket ke kulit. Membentuk figur gitar Spanyol. Seksi, sekal, suit..suit!
Itulah realita di Indonesia. Dari dulu, Undang-undang Pemilu mengharuskan partai memberi pendidikan politik bagi masyarakat. Tujuannya agar masyarakat cerdas berpolitik dan menentukan pilihan. Undang-undang dirombak terus agar tujuan ini dapat dicapai. Percuma. Praktik politik di Indonesia hanya meningkat dari segi casing, tidak esensinya.
Dangdut dalam perkembangannya telah menjadi alat pembodohan dan menimbulkan bahaya laten. Seharusnya ia hanya menjadi alat layaknya pemancar pada radio, yang membantu tercapainya informasi. Ia hanya alat menarik perhatian massa, bukan penjebak.
Tapi tak ada partai yang peduli pada hal ini. Semua mengikuti jejak nenek moyang. Akibatnya dampak negatif mulai terlihat. Kaum intelektual dan masyarakat menjadi tidak percaya pada politik dan sistem demokrasi di Indonesia. Pemilu hanya menjadi agenda lima tahunan. Tak jauh beda dari kontes kecantikan. Tujuannya bukan mencari pemimpin. Cuma mencari “wajah” baru untuk dikambinghitamkan saat Indonesia makin terpuruk.
Dampak tersebut tak hanya berdampak pada kemunduran bangsa, tapi juga legitimasi pemimpin yang terpilih. Bayangkan seorang pemimpin dengan sistem demokrasi, menjabat dengan jumlah suara riil (benar-benar mendukung karena kapabilitas pemimpin itu) tidak sampai 20%. Alhasil, keputusannya kelak kemungkinan besar diabaikan rakyatnya sendiri. Mungkin juga ditentang habis-habisan. Jabatan sebagai pemimpin seperti telur di ujung tanduk.
Percayalah. Ini akan terjadi di Indonesia. Bahkan gejalanya sudah di depan mata. Belum terlambat bagi partai politik untuk memulai langkah strategis baru. Memberi pendidikan politik bagi masyarakat. Tidak terbatas bagaimana prosedur pemilihan. Tapi juga bagaimana langkah-langkah yang diambil suatu partai untuk mencapai kebijakan, menampung aspirasi rakyat, membangun sifat kritis masyarakat, politik yang sehat, dan lain-lain. Mulai jadikan partai politik alat masyarakat luas, bukan segelintir orang yang berambisi duduk di parlemen.
Semuanya demi politik yang lebih demokratis.
*foto:news.okezone.com
Sebab pandangan mereka tidak mengarah pada siapa yang berbicara. Mata-mata itu jelalatan melihat penyanyi yang meliuk-liuk dalam pakaian yang lengket ke kulit. Membentuk figur gitar Spanyol. Seksi, sekal, suit..suit!
Itulah realita di Indonesia. Dari dulu, Undang-undang Pemilu mengharuskan partai memberi pendidikan politik bagi masyarakat. Tujuannya agar masyarakat cerdas berpolitik dan menentukan pilihan. Undang-undang dirombak terus agar tujuan ini dapat dicapai. Percuma. Praktik politik di Indonesia hanya meningkat dari segi casing, tidak esensinya.
Dangdut dalam perkembangannya telah menjadi alat pembodohan dan menimbulkan bahaya laten. Seharusnya ia hanya menjadi alat layaknya pemancar pada radio, yang membantu tercapainya informasi. Ia hanya alat menarik perhatian massa, bukan penjebak.
Tapi tak ada partai yang peduli pada hal ini. Semua mengikuti jejak nenek moyang. Akibatnya dampak negatif mulai terlihat. Kaum intelektual dan masyarakat menjadi tidak percaya pada politik dan sistem demokrasi di Indonesia. Pemilu hanya menjadi agenda lima tahunan. Tak jauh beda dari kontes kecantikan. Tujuannya bukan mencari pemimpin. Cuma mencari “wajah” baru untuk dikambinghitamkan saat Indonesia makin terpuruk.
Dampak tersebut tak hanya berdampak pada kemunduran bangsa, tapi juga legitimasi pemimpin yang terpilih. Bayangkan seorang pemimpin dengan sistem demokrasi, menjabat dengan jumlah suara riil (benar-benar mendukung karena kapabilitas pemimpin itu) tidak sampai 20%. Alhasil, keputusannya kelak kemungkinan besar diabaikan rakyatnya sendiri. Mungkin juga ditentang habis-habisan. Jabatan sebagai pemimpin seperti telur di ujung tanduk.
Percayalah. Ini akan terjadi di Indonesia. Bahkan gejalanya sudah di depan mata. Belum terlambat bagi partai politik untuk memulai langkah strategis baru. Memberi pendidikan politik bagi masyarakat. Tidak terbatas bagaimana prosedur pemilihan. Tapi juga bagaimana langkah-langkah yang diambil suatu partai untuk mencapai kebijakan, menampung aspirasi rakyat, membangun sifat kritis masyarakat, politik yang sehat, dan lain-lain. Mulai jadikan partai politik alat masyarakat luas, bukan segelintir orang yang berambisi duduk di parlemen.
Semuanya demi politik yang lebih demokratis.
*foto:news.okezone.com
0 comments:
Post a Comment