Sesaat Sebelum Semifinal

>> Tuesday, March 24, 2009

Black In News,

Debat. Walau dalam kegiatan ini tiap tim berusaha mengalahkan tim lain, bukan berarti tak ada etika yang berlaku.

Poin utama dalam debat bukan menjatuhkan lawan secara personal, tapi argumentasi. Ini yang sering disalahartikan dalam praktiknya. Pemula yang kelewat senang karena bisa unggul dari lawan tanpa persiapan, bisa saja jumawa. Mereka menganggap keberuntungan itu sebagai kemampuan terpendam. Alhasil, mereka berlaku tak sopan pada tim lain. Mulai dari menertawakan, menghina, sampai mengecilkan.

Tak melulu oleh pemula. Tak jarang peserta yang telah lama berkecimpung di dunia debat, juga berbuat serupa. Motifnya lebih sering sebagai akibat perasaan superior daripada yang lain.

Apapun alasannya, meremehkan itu tidak etis. Kadang bisa jadi bumerang bagi diri sendiri.

***

“Modern technology is more foe than friend”. Itulah mosi yang kami dapat. Kali ini kami, Bahasa Inggris 1, sebagai tim negative. Bahasa Inggris 2 menjadi tim affirmative. Mereka sangat senang tampaknya.

“Berarti mereka siap,” kata Faris.

Kami pun tak kalah gembira. Mosi ini agak unik sebenarnya. Kami punya berbagai data untuk ini. Namun harus ada argumen yang benar-benar kuat untuk bisa menyanggah lawan dengan baik. Kami siapkan itu selama cast building. Lepas 30 menit, kami sudah siap dan berapi-api.

Salah satu sebabnya Bahasa Inggris 2 dan Bahasa Inggris 1 dengan alasan tertentu memiliki intrik.

Semua berawal dari penyisihan saat Bahasa Inggris 1 melawan PGSD. Dengan persiapan seadanya, Bahasa Inggris 1 memang tak maksimal. Namun bukan alasan bagi peserta lain yang saat itu berstatus sebagai penonton, untuk mengomentari apalagi cenderung menghina.

Hari itu, saya lihat Tetty sebagai pembicara kedua agak turun performanya. Saya heran. Rupanya, dia terganggu dengan pandangan tim Bahasa Inggris 2 yang cenderung bereaksi negative saat Tetty keliru melafalkan kata. Reaksi itu berupa tatapan merendahkan, alis mata dinaikkan, tatapan sinis, dan lain-lain.

Saya awalnya mengira itu hanya perasaan Tetty saja. Saya sendiri tidak merasa karena saya terlalu tegang untuk memperhatikan. Tapi saat pertandingan lain setelah kami, gelagat itu mulai terlihat. Terbuktilah ucapan Tetty. Mereka kadang tak segan menertawakan tim dari prodi lain, yang notabene tak sempurna pengucapan Bahasa Inggrisnya.

Mereka masih hijau. Baru semester dua. Mereka pun belum belajar bahwa dalam ragam lisan apalagi debat, meskipun penting, pengucapan bukanlah hal utama. Yang paling penting adalah ide yang dibangun untuk mempertahankan argumen. Bagaimana merangkai kata secara runut dan menarik.

Kami bertanya-tanya, apakah mereka begitu hebat? Kabarnya di angkatan mereka ada seorang mahasiswi yang lahir di Australia dan tinggal di sana hingga SMP. Bisa jadi salah satu anggota tim itu adalah mahasiswi yang dimaksud.

Entahlah. Saya tak begitu yakin. Tapi saya dan teman-teman satu tim akhirnya bersemangat ingin melihat penampilannya.

***

Semifinal Bahasa Inggris 2 dan Fisika 3 adalah saat yang kami tunggu-tunggu. Siapapun yang menang akan menjadi tiket kami ke final. Mengalahkan tim itu membuka peluang memperebutkan juara 1 dan 2.

Kesempatan ini juga kami manfaatkan melihat penampilan Bahasa Inggris 2. Dari awal mereka sangat percaya diri. Penampilan mereka cukup baik. Peraturan dan dasar perdebatan pun telah mereka kuasai. Itu tampaknya menjadi alasan kemenangan Bahasa Inggris 2 atas Fisika 3.

Namun selama debat, mereka kurang mampu membangun argumen. Kesalahan pengucapan juga terjadi.

Kami berharap melihat penampilan lebih baik dari pembicara ketiga. Sebab dialah mahasiswi asal Australia itu.

Sayang, pembicara ketiga ini malah melakukan kesalahan fatal. Setelah maju ke podium, ia terdiam selama 30 detik. Bukannya berpikir, ia malah memandang kedua teman lainnya yang sibuk membantu. Bahkan saking semangatnya sambil menunjuk-nunjuk. Semua tindakan itu diperhatikan sangat jelas oleh kedua juri.

Itu kesalahan konyol. Ketika di atas podium, tiap pembicara adalah pejuang tunggal.

Melihat ini Bahasa Inggris 1 mau tak mau tertawa. Rupanya kami sama-sama masih amatiran (kecuali Faris). Lalu, apa yang menjadikan dia begitu yakin menertawakan dan mencari detail kesalahan orang lain? Kami tertawa semakin geli. Tapi nyaris tak bersuara.

Meski kami tertawa diam-diam, mereka tampaknya melihat. Selesai penjurian, mereka duduk kembali. Saya dan Tetty pergi ke toilet.

“Yau, dengar ndak tadi’?”

“Ndak, kenapa?”

“Mereka marah tuh liat kita ketawa. Pas mau duduk mereka bilang, ‘Ape sih kakak itu tu’?”

“Ah biar aja lah.”

Aku tertawa lagi. Sadar juga mereka bagaimana kesalnya ditertawakan dan dianggap remeh.

Cerita ini aku sampaikan ke Faris. Ia tersenyum.

“Biarlah. Intrik itu perlu dalam debat untuk meningkatkan adrenalin. Biar seru!”



0 comments:

Post a Comment

About This Blog

  © Blogger template Simple n' Sweet by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP