Mari Berpikir Jorok

>> Sunday, June 14, 2009

Fakta : Banyak orang Pontianak yang suka berpikiran jorok.


Mereka memikirkan sampah, Saudara-saudara!

Kiri-kanan ada sampah. Penampungannya bau dan berantakan. Parit nyaris juga nyaris tersumbat limbah.

Ini lho yang disebut kota bersinar.

Maka saya tak urung ikut berpikiran jorok. Suatu hari, kadang pagi, siang, sore, malam, juga subuh, otak saya berputar. Apa yang bisa dilakukan?

Yang paling mudah sebenarnya memisahkan sampah. Saya ingat, seperti pelajaran IPA waktu SD, sampah bisa dibagi jadi dua, organik dan anorganik. Organik yang bisa busuk, sebaliknya anorganik yang tidak bisa busuk. Nah, untuk yang organik, disarankan untuk ditimbun saja dalam tanah. Manfaatnya, bisa jadi kompos.

Jangan salah, saudara-saudara, zaman sekarang kompos bukan hanya berfungsi menyuburkan tanaman. Subagiyo, warga Tegal Parang, memanfaatkan kompos atau pupuk cair untuk meminimalisir frekuensi menyedot WC. Kalau biasanya setahun sekali, dengan pupuk cair bisa dua tahun sekali baru disedot.

Lain lagi dengan sampah anorganik yang lazimnya dibuang ke tempat sampah. Tapi kalau ada yang jeli, sampah anorganik bisa didaur ulang. Misalnya sebuah ide yang digagas Syafrudin, warga Siantan, Pontianak. Ia tak hanya bisa membuat kompleksnya ramah lingkungan, tapi memberdayakan masyarakat sekitar mengolah sampah jadi kerajinan tangan. Dari sampah jadi uang.

Itu pikiran jorok pertama.

Lalu beberapa saat kemudian yang entah kapan dan di mana, saya berangan-angan pemerintah mulai memberdayakan pemulung. Kita lihat contoh dari Syafrudin tadi, daur ulang sampah ternyata sangat menguntungkan.

Jika ada hubungan sinergis antara pemerintah, pemulung, swasta, dan UKM, sampah bukan jadi masalah, malah aset perindsutrian Borneo ini.

Kota bersih, rakyat sejahtera.

Saudara-saudara,

Urusan sampah sebenarnya sudah diajarkan sejak SD. Saya selalu ingat semboyan, Buang Sampah pada Tempatnya. Tapi saya mengerti, kebiasaan ini kemudian luntur saat melihat orang lain seenaknya buang sampah di tempat terdekat. Bagaimana lagi, masyarakat kita terlanjur bergantung pada asas 'ikut-ikutan'. Kalau tidak ada yang memulai, jadi enggan. Kalau ada yang mulai, biar salah, yang haram pun jadi halal.

Banyak yang beralasan, kalau sendirian untuk apa?

Saya juga sempat berpikir begitu sampai saya membaca sebuah cerita.

Suatu hari, ada seorang pria yang berjalan-jalan di tepi pantai Meksiko. Di sana, ia melihat sekelompok orang pribumi sedang melemparkan sesuatu ke dalam air laut. Rupanya mereka mengembalikan bintang laut yang terdampar akibat ombak besar. Pria itu mendekati seorang pribumi.
“Apa yang Anda lakukan?”
“Mengembalikan mereka ke laut.”
“Tapi, itu mustahil. Jumlah bintang laut di sepanjang pantai ini mungkin mencapai ribuan.”
“Yah, minimal kami membuat perubahan untuk yang satu ini.”

Maka hingga saat ini, saya yakin apa pun yang saya buat untuk lingkungan, bahkan pikiran-pikiran jorok saya, mungkin berarti untuk dituliskan.


*sumber foto: www.inilah.com; didut.nomadlife.org

0 comments:

Post a Comment

About This Blog

  © Blogger template Simple n' Sweet by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP