Pelajaran IPA dari Bapak
>> Sunday, June 21, 2009
Sebuah Sabtu di Bumi Sebalo. Ratna dan ayahnya mengawali hari itu dengan perasaan kesal.
Menurut rencana, mereka akan berangkat memancing ke Selabih. Tapi entah karena salah siapa, mereka baru bangun sekitar pukul 8. Mereka masih harus menyiapkan umpan, bekal, dan perlengkapan memancing seperti galah, kail ukuran besar, tali pancing, dan tempat ikan.
Padahal jarak ke Selabih cukup jauh. Untuk mencapainya dengan sepeda motor butuh waktu lebih dari 45 menit. Menjadi makin lama karena jalanannya licin akibat lumut.
Selain itu, jika kesiangan, perjalanan jauh ini akan sia-sia.
Sungai di Selabih adalah hulu sungai Sebalo dan Teriak. Tempat ini bisa dibilang surga para pemancing. Di airnya yang dalam dan kecoklatan, terdapat beragam ikan besar. Misalnya ikan Baung besar atau Padum, ikan berwarna hitam dengan mata merah atau biru.
Jenis lainnya adalah ikan Sidat yang unik. Ia sebenarnya ikan laut, namun hidup di habitat air tawar. Ukuran jumbonya membuat orang yang tak kenal ikan ini menjadi panik. Ayah Ratna, misalnya. Pernah suatu kali ia mendapat ikan ini tapi ia langsung memutus kail. Bagaimana tidak? Warna tubuhnya yang seperti ular sangat janggal untuk spesies ikan sungai. slelain itu ayah menemukan sidat yang berwarna merah. Besarnya pun tak tanggung-tanggung, nyaris seukuran paha orang dewasa. Baru setelah ia bertemu dengan warga Selabih, setelah terlebih dahulu ditertawakan, ayah diberi tahu ikan Sidat bisa dikonsumsi.
Namun, ikan-ikan akan meninggalkan kawasan hulu sungai jika sudah terlalu siang. Karena panas akan terserap air dan ikan cenderung tidak menyukainya.
Itu sebabnya ayah tampak makin berang. Meski begitu, dengan atmosfer kekesalan yang masih kental, mereka tetap berangkat ke Selabih.
Ratna sendiri sebenarnya tidak terlalu suka memancing. Ia hanya ingin menemani sang ayah. Terakhir kali ia menolak pergi, ayah sempat jatuh dari jembatan menuju ke Selabih. Panjang jembatan kayu itu kira-kira 10 meter dengan lebar hanya 1,5 meter. Lebih dari 8 meter di bawahnya mengalir sungai Teriak. Di sisi-sisi jembatan nyaris tak ada pegangan kecuali kawat beraneka ukuran di tepinya yang menyatukan badan dan tali penyangga jembatan. Jarak satu kawat ke kawat lain cukup jauh, sekitar selengan.
Dari atas jembatan inilah, motor ayah oleng menjelang maghrib karena ia kelelahan. Sejak kejadian itu, Ratna atau saudaranya yang lain akan menemani ayah memancing, apalagi jika harus menempuh perjalanan jauh.
Bagi Ratna, menikmati suasana alam yang hijau dan sejuk di sepanjang perjalanan ternyata lebih menarik. Ia tetap menikmati perjalanan walau ia dan ayah saling berdiam-diaman. Ia melihat beberapa kampung kecil yang terpisah dalam jarak cukup jauh. Di antaranya terbentang sawah, pohon karet yang berjejer, kuburan, serta tanah kuning dari bukit yang dikeruk saat membuat jalan. Di sepanjang jalan ini juga, setelah penguburan adat misalnya, terlihat sesaji upacara adat Dayak yang bergelantungan.
Ratna mengingat pohon karet dengan keindahan tersendiri. Saat kemarau, hutan karet terlihat cantik dan semarak oleh daun yang merah kekuningan. Kemudian, menjadi meriah saat tengah hari ketika bunyi buah karet pecah nyaris seperti petasan. Seperti tahun baru.
Ratna dan ayah masih tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing hingga hujan tiba-tiba mengguyur. Jalan tanah licin dan lembek. Motor jadi luar biasa kotor setelah melalui jalanan seperti ini. Perjalanan mereka yang sudah menyusuri tepi sungai semakin berbahaya. Terpeleset sedikit, bisa mendarat di sungai.
Karyono, ayah Ratna, adalah pria Jawa Tengah yang dimutasi ke Kalimantan Barat. Tinggi dan berat badannya seimbang dan rambutnya keriting.
“Bapak punya kumis melintang.”
Ratna menambahkan, ciri-ciri yang terakhir ini membuat beliau ditakuti beberapa teman Ratna.
Karyono memang hobi memancing dan bercengkerama dengan alam. Mungkin pekerjaannya sebagai pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bengkayang yang mempengaruhinya. Hobi ini kemudian dibiasakan kepada keenam anaknya sejak mereka kecil. Termasuk Ratna. Dampaknya terlihat saat mereka dewasa. Seorang abang Ratna kini bergabung dalam organisasi pencinta alam, Mapala. Sedangkan Ratna bergabung di Hijau Bersih (Hiber), organisasi peduli lingkungan. Kedua organisasi tersebut bernaung di bawah Universitas Tanjungpura.
Yang jelas, dalam keseharian, keluarga tersebut biasa ramah pada alam. Sang ibu misalnya, memiliki cara efektif mengajarkan Ratna bersaudara untuk buang sampah pada tempatnya. Alih-alih menceramahi, beliau meletakkan saja tempat sampah di depan mereka saat mereka ingin buang sampah.
“Lama-kelamaan jadi terbiasa.”
Ratna mengingat sambil tersenyum.
Demikianlah, lingkungan membentuk Ratna menjadi seorang pencinta lingkungan. Ia selalu buang sampah pada tempatnya. Jika memungkinkan, ia akan memakai plastik lebih dari sekali untuk menghemat. Kalau plastik yang berminyak, maka akan ia cuci terlebih dahulu. Plastik-plastik bekas itu akan ia simpan rapi sehingga dapat ia gunakan saat perlu.
Ratna juga memiliki bakat di bidang kerajinan tangan. Dengan bakat ini kemudian ia berencana membuat berbagai kerajinan dari sampah. Dengan begitu, ia merasa bisa berbuat sesuatu untuk lingkungan.
“Ratna tu ndak suka kalau cuma ngomong, tapi maunya langsung berbuat.”
Itulah yang sering ia katakan pada saya, temannya.
Namun, seorang pencinta alam pun suatu waktu harus mengalah pada ketersediaan.
Pada saat pulang kampung kemarin, ia harus melakukan sesuatu yang berat.
Di Bengkayang, kadang-kadang minyak tanah menjadi langka karena pengirimannya yang terhambat. Penggunaan gas pun memang dikurangi di rumah Ratna karena harganya mahal. Gas digunakan hanya untuk memasak dalam waktu singkat. Selebihnya bergantung pada minyak tanah.
Maka hari itu, ia terpaksa menggunakan kayu bakar.
“Memang sih rasanya gimana gitu, karena memang ndak boleh kan pakai kayu. Tapi minyak juga ndak ada.”
Kondisi ini memang hanya sesekali bagi keluarga Ratna. Tapi masih banyak warga Bengkayang baik di kota maupun kampung-kampung sekitar yang masih menggunakan kayu bakar.
“Mereka ada yang tahu, tapi kebanyakan tidak mau tahu.”
Alasan sebenarnya adalah harga kayu bakar memang murah dan mudah didapat dibanding gas maupun minyak tanah.
Tidak hanya Bengkayang, daerah-daerah lain juga lazim mengalami hal tersebut. Di sinilah letak kesulitan untuk mengkampanyekan cinta lingkungan di daerah.
Seperti yang di duga, memang tidak ada ikan yang bisa ditemukan di sana. Maka Bapak dan Ratna bergerak ke sebuah sungai lain. Bapak rupanya masih kesal. Ditambah sebuah insiden saat memancing tadi. Ratna memancing agak jauh dari Bapak. Bapak tentu saja khawatir. Tanah yang licin habis hujan dan sungai yang dalam sangat berbahaya bagi anak kelas satu SMP.
Maka mereka kembali berdiam diri sepanjang jalan saat menuju sungai yang lain itu. Selain itu, Bapak juga perlu berkonsentrasi pada jalan kuning becek yang tidak hanya membuat motor kotor tapi juga ban ngeper. Jalan juga berbahaya karena ada jurang menganga di sisi kirinya.
Tiba di jalan menikung, Bapak melihat sebuah pohon tumbang yang menghalangi jalan. Bapak berusaha keras menghindar sambil tetap menjaga keseimbangan motor. Namun, ban tetap selip karena jalan yang licin. Tapi untung Bapak masih bisa menahan motor agar tidak jatuh. Saat ia menoleh, Ratna yang dibonceng sudah nyaris terjatuh dari tempat duduk. Tinggal sebelah kakinya yang menyangkut di badan motor.
Bukannya khawatir, Bapak malah tersenyum.
“Kau ngape?”
Tinggal Ratna yang masih kaget tapi kemudian segera duduk kembali di motor. Mereka kemudian kembali berkendara.
Sungai yang mereka tuju terletak di belakang sebuah sekolah yang memiliki cukup banyak siswa. Saat Ratna sampai, ia melihat murid-murid sedang tidak belajar.
“Gurunya cuma datang hari Senin jak.”
Yang unik, murid-murid tetap datang setiap hari ke sekolah.
Meski waktu telah siang, masih ada ikan di sungai ini. Berbeda dengan sungai sebelumnya, sungai ini teduh dan tidak menyerap panas langsung. Meski begitu, Bapak berjalan cukup cepat ke arah sungai. Ratna mencoba menjajari langkah Bapak.
Saking takut tertinggal, ia terpeleset di tanah licin berpasir itu. Bajunya yang berwarna cerah menjadi kekuningan.
Melihat ini, kekesalan Bapak kembali tersulut. Mulailah terdengar omelannya yang tambah panjang saat Ratna lambat memasang umpan di tiga kail besar. Bapak memang memakai tiga kail ukuran besar untuk satu pancingan karena ikan di sungai itu cukup besar.
Sambil menggerutu Bapak membetulkan tali pancing yang tersangkut di pohon. Tali itu sudah terikat ke galah yang terpancang di tanah. Cuma bagian atas tali rupanya membelit cabang pohon yang menjorok ke sungai. Saat membetulkan belitan, kail dan umpan berayun-ayun sangat dekat di atas permukaan air.
Tiba-tiba sebuah bayangan gelap menyambar mata kail itu. Tarikannya kuat hingga Bapak yang tak siap ikut tercebur ke dalam sungai. Permukaan sungai langsung bergelombang, bak dilewati sebuah motor Bandong.
Ratna kaget campur geli melihat Bapaknya jatuh. Mau membantu tapi ia tak tahu caranya. Tak tahan, ia tertawa sambil melongok ke sungai. Bapak yang tak lama muncul pucat bagai melihat hiu. Ekspresinya antara kaget dan polos.
Melihat Ratna tertawa cekikikan, Bapak cuma bisa berkata,”Kenapa kau ketawa-ketawa?”
Lalu ia ikut tertawa.
Itu adalah satu perjalanan memancing yang hingga saat ini tak dapat dilupakan Ratna.
Terakhir kali ia berkunjung, pemandangan tak lagi sama. Sungai tempat Bapak jatuh sudah dangkal akibat penambangan liar.
* sumber foto: www.jjphoto.dk/.../anguilla_dieffenbachii.jpg